Tafsir Iqra
SENJA sudah lewat ketika saya tiba di Hartford. Udara sudah turun lagi jadi empat derajat. Saya langsung ke rumah Daeng.-Photo: istimewa-Gus munir
"Dari PTIQ," kata jilbab lainnya.
Dan lainnya lagi.
"Dari teknik mesin ITB," giliran yang lebih senior mengenalkan diri.
"Dini," kata wanita langsing dengan rambut terurai.
"Dini ini profesor. Dosen di Yale University," ujar Daeng. "Dia datang dari New Haven. Setir mobil sendiri. Satu jam," kata Daeng lagi.
BACA JUGA:Dikeroyok Usai Tegur Tetangga Joget
BACA JUGA:Ronaldo Umumkan Berencana Pensiun
Setengah jam kemudian datang lagi dosen juga. Laki-laki. Juga mengajar di Yale. Dua dosen universitas papan atas Amerika ikut hadir. Seharusnya mereka saya catat satu per satu agar bisa disebut semua.
Anda sudah tahu apa itu PTIQ –Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran. Di Jakarta selatan. Atau selatannya Jakarta. Saya belum pernah ke sana.
Saya tanya mereka dari jurusan apa saja. Jawab mereka sama: jurusan tafsir Quran.
"Sejak ada ilmu tafsir terjadilah kekacauan..," gurau saya menyambut para calon ahli tafsir itu.
BACA JUGA:SSB Palembang Soccer Skills Sukses Meraih Juara 3 Kejuaraan GAN Zona Sumsel 2024
BACA JUGA:5 Dampak Stres Kerja dan Solusi Sederhana untuk Mengatasinya
Semuanya ikut tertawa. Salah satunya segera berubah wajah menjadi serius, lalu bertanya: kenapa begitu.
"Itu guyon," jawab saya. "Tapi boleh juga Anda dalami apakah benar di zaman Nabi Muhammad dan di zaman sahabatnya belum ada ilmu tafsir. Dengan demikian saat itu orang menjalankan agama bukan berdasarkan tafsir salah satu ahli agama. Yang lalu bingung ketika ahli lain menafsirkan ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda".