Tafsir Iqra

SENJA sudah lewat ketika saya tiba di Hartford. Udara sudah turun lagi jadi empat derajat. Saya langsung ke rumah Daeng.-Photo: istimewa-Gus munir

Oleh: Dahlan Iskan

SENJA sudah lewat ketika saya tiba di Hartford. Udara sudah turun lagi jadi empat derajat. Saya langsung ke rumah Daeng. Akan ada diskusi dengan mahasiswa asal Indonesia di rumah itu.

Istri Daeng ternyata sudah masak. Ikan bakar dan sambal terasi. Juga ada sambal pencit. Masih ada lagi: soto ayam. Bisa dimakan dengan nasi atau mie dan bihun.

Saya pilih soto dulu. Sedikit. Berkuah. Panas. Di udara dingin. Ternyata sedap. Saya tambah lagi. Sedikit. Sambil melirik ikan bakar. Itu untuk tambah yang kali ketiga.

Rumah kayu ini dua lantai. Tambah satu basement. Lantai pertamanya sejajar dengan jalan: untuk ruang tamu berseparo dengan dua meja belajar. Meja besar untuk Daeng. Sekalian meja kerja. Ada laptop terbuka di atasnya. Meja kecil untuk belajar anaknya: putri. Masih kecil. Mungkin kelas 1 SD.

BACA JUGA:Menteri Nusron Harapkan Transformasi Pelayanan Masyarakat Menjadi Lebih Cepat

BACA JUGA:Gelar Doktor Bahlil Ditangguhkan UI

Lalu ada ruang makan di sebelah ruang tamu. Dapurnya di belakang tempat makan itu.

Tidak ada sekat antara ruang tamu, ruang belajar dan ruang makan. Sofa diminggirkan. Bisa menampung 15 orang. Lesehan. Lantai kayu terasa hangat. Apalagi dilapisi karpet.

"Dari PTIQ," seorang mahasiswa membuka pintu, mengenalkan diri dan menyalami saya.

"Dari PTIQ," kata mahasiswa berikutnya.

BACA JUGA:Bawaslu Ajak Awasi Politik Uang Bentuk Digital

BACA JUGA:Penyulingan Minyak Ilegal di Keluang Muba Terbakar

"Dari PTIQ," giliran mahasiswi berjilbab mengenalkan diri.

Tag
Share