Dukungan untuk berganti ke Nusantara rasanya juga besar. Setidaknya penentangannya tidak mendasar.
Indonesia adalah nama yang berbau kolonial --meminjam istilah Presiden Jokowi untuk istana Jakarta dan Bogor. Dengan istilah ”berbau kolonial” itu, presiden mendapat penerimaan luas akan perlunya istana baru, Istana Garuda di IKN.
Setidaknya orang NTB dan NTT akan langsung setuju. Nusa Tenggara telah menang beberapa langkah dari Nusantara. Menang duluan.
Sayangnya NTB dan NTT --yang sudah lebih dulu memakai nama mirip Nusantara justru tergolong bukan yang paling maju.
BACA JUGA:Ribuan Warga Ikuti Jalan Sehat Kemerdekan, Emak-Emak Dukung Teddy Jadi Bupati
BACA JUGA:HDCU Targetkan Menang Signifikan di OKU
Klenik kadang-kadang memang penting. Terutama untuk membuat perasaan nyaman. Terutama perasaan orang yang percaya klenik. Kadang bisa terhindar dari ”disalah-salahkan” orang.
Misalnya cuaca IKN yang terang tanpa sedikit pun hujan kemarin. Upacara kenegaraan 17 Agustus pun bisa berlangsung lancar. Luar biasa. Padahal, menurut ramalan Google, seharusnya hujan.
Melihat terangnya IKN di siaran langsung televisi saya termasuk yang bangga. Di siaran langsung itu Istana Garuda tampak lebih megah dari yang biasanya beredar di medsos.
Kesan ”istana kelelawar” nya juga tidak sekuat anggapan di medsos. Apakah berarti kesan ”istana Garuda”-nya amat kuat? Juga belum.
BACA JUGA:Pertama di Sumsel, Pengucapan Sumpah dan Janji Anggota DPRD OKU 2024-2029 Berjalan Khidmat
BACA JUGA:Chelsea Hampir Mendapatkan Victor Osimhen Lewat Proses Tukar Pemain
Tentu kelak bisa saja disempurnakan. Sambil jalan. Agar kegagahan Garuda Indonesia bisa lebih terasa.
Skala fisik istana yang sangat besar memang bisa mengubah pandangan. Pun pandangan perencanaan.
Istana yang digelar di alam tentu bisa menimbulkan pandangan yang berbeda dengan ketika digelar di selembar kertas atau sejereng layar komputer.
Setidaknya Istana Garuda jauh lebih gagah dari istana yang disebut berbau kolonial itu.