Atau, ia akan membatasi diri hanya untuk keputusan-keputusan yang terkait dengan kedaulatan negara saja. Misalnya: ketika perusahaan BUMN akan melepas saham melebihi 50 persen.
Selebihnya, biarlah berada sepenuhnya menjadi wewenang Danantara. Kalau perusahaan BUMN masih tunduk pada dua-duanya, bukankah itu justru menambah birokrasi. Bukan lagi kian sederhana. Kian ruwet.
Sebenarnya BUMN tidak hanya tunduk pada dua lembaga itu. Masih juga harus tunduk pada kementerian teknis. Misalnya PLN, Pertamina atau perusahaan pertambangan: harus tunduk kepada Kementerian ESDM. Direksinya harus sering rapat di sana.
BACA JUGA:Mees Hilgers Terancam Tak Bisa Main Lawan China
BACA JUGA:ATR/BPN Gaungkan Ekonomi Berbasis Adat
Selain itu masih ada yang satu ini: DPR. Direksi BUMN sering dipanggil DPR. Harus siap dicaci maki di situ --pun untuk yang sangat teknis.
Setelah ada Danantara, apakah DPR masih akan sering memanggil direksi BUMN? Ataukah hanya akan memanggil Danantara?
Bukankah perusahaan BUMN yang lama itu kini hanya berstatus sebagai anak perusahaan Danantara?
Atau DPR masih merasa berkuasa dengan sandaran saham satu lembar itu?
BACA JUGA:Sembunyikan 108 Ijazah Karyawan Sentoso Seal di Rumahnya
BACA JUGA:Visa Jamaah Haji Reguler, Tinggal Sembilan Lagi!
Harusnya hanya Danantara yang dipanggil DPR. Selebihnya menjadi urusan dan tanggung jawab Danantara sebagai superholding.
Maka perusahaan BUMN itu punya begitu banyak atasan. Wajar kalau kalah dengan swasta --yang hanya punya satu atasan: pemegang saham mayoritas.
Bahkan jangan-jangan Danantara pun belum merasa sebagai pemilik perusahaan BUMN.
Saya kaget membaca berita di media Senin kemarin: Menteri BUMN mengganti direksi InJourney --holding baru yang membawahkan bandara-bandara BUMN se-Indonesia. Dirut barunya Anda sudah tahu: Mohamad Reza Pahlevi. Ia sosok yang tepat.
BACA JUGA:Pihak Lesti Kejora Angkat Bicara Soal Laporan Dugaan Pelanggaran Hak Cipta