Oleh: Dahlan Iskan
Tunduk kepada siapakah perusahaan-perusahaan BUMN sekarang ini? Ke Kementerian BUMN atau ke Danantara?
"Tunduk ke dua-duanya," ujar salah satu dari mereka.
Teorinya begitu. Pemegang saham perusahaan BUMN memang dua lembaga: Danantara dan Kementerian BUMN.
Sebenarnya kementerian BUMN hanya memegang satu lembar saham saja di masing-masing perusahaan BUMN. Kalau misalnya perusahaan itu memiliki satu juta lembar saham, maka nilai satu lembar itu hanya 0,0 sekian persen.
Apalagi kalau jumlah sahamnya miliaran lembar. Jumlah saham Bank Mandiri misalnya, 128 miliar lembar. Bisa Anda hitung, satu lembar dari 128 miliar lembar itu berapa persennya. Hanya segitulah saham kementerian BUMN. Selebihnya adalah milik Danantara. Selebihnya lagi milik publik lewat pasar modal.
BACA JUGA:156 Desa/Kelurahan Wajib Bentuk Koperasi Merah Putih
BACA JUGA:Pembangunan Sekolah Rakyat di Empat Lawang Segera Rampung
Meski begitu ”satu lembar” saham tersebut memiliki kekuatan lebih besar dari yang memegang 128 miliar lembar saham.
Satu lembar saham itu --begitu kuatnya-- disebut saham Merah Putih. Dalam akta perusahaan sudah disebutkan: saham Merah Putih memiliki hak veto di perusahaan BUMN. Artinya, untuk keputusan-keputusan penting pemilik satu lembar saham itu harus setuju. Tidak setuju, batal.
Apakah dengan demikian perusahaan BUMN semakin tidak fleksible? Kalau dulu hanya punya 'atasan' satu, sekarang punya 'atasan' dua?
Bukankah pembentukan Danantara dimaksudkan agar BUMN kita lebih lincah --tidak serba kalah manuver dari swasta? Bukankah perubahan UU BUMN terbaru juga punya maksud seperti itu?
BACA JUGA:Buaya Sepanjang 4 Meter Gegerkan Warga
BACA JUGA:Saham MU Anjlok Usai Gagal Juara Liga Europa dan Absen di Liga Champions
Maka kini terserah menteri BUMN. Apakah ia akan menggunakan kekuasaan satu lembar saham itu untuk menyetujui atau menolak keputusan apa pun.