BACA JUGA:Simpan Barang Bukti di Bawah Lemari Makan
BACA JUGA:Basmi Tikus Demi Jaga Produksi Padi
Beberapa menit kemudian, Dahlan Iskan datang. Beberapa perwakilan demonstran diundang masuk ke kantor pusat. Jawa Pos diwakili Dahlan dan Yoseb.
Saya diberi tugas meliput demonstrasi itu. Yakni untuk menulis hak jawab para demonstran. Satpam diperintahkan memborong sebanyak mungkin nasi bungkus dari warung di sepanjang Jl Karah Agung untuk ribuan orang yang berdemo di depan kantor.
Menjelang Asar, tercapailah perdamaian. Saya kebagian tugas menuliskan beritanya dari dua sisi: Suara demonstran dan Yoseb.
Kamis tadi malam, di lini masa WhatsApp group pensiunan "Jawa Pos" Cowas, muncul permintaan doa untuk Yoseb yang dalam kondisi kritis di RS Islam, Surabaya. Pagi tadi muncul berita duka: Yoseb telah berpulang untuk selama-lamanya.
Inalillahi waina ilaihi rojiun. Selamat jalan sobatku. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosamu dan melipatgandakan amal baikmu.
BACA JUGA:Cek TPS Terjauh Jelang Pelaksanaan Pemilu
BACA JUGA:Diduga Tergelincir Sedang Latihan Lomba Bidar, Siad Tenggelam
Meski saya hanya bekerja dua tahun di kantor Jawa Pos Surabaya, nama Yoseb tidak akan pernah hilang dari ingatan saya. Selama saya masih bisa mengetik, selama itu pula saya akan teringat namanya: Karena tombol "N" dan "B" tetap bertetangga.
Yoseb belum pensiun ketika saya menjadi sesuatu di luar Jawa Pos. Hubungan saya dengan Yoseb pun terputus. Tapi saya tidak akan lupa: Yoseb adalah ''dokter bahasa'' angkatan pertama di Jawa Pos.
Sebelum ada ''dokter bahasa'' tulisan di Jawa Pos penuh dengan kekacauan kaidah bahasa. Pengetahuan wartawan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar ternyata sangat parah. Maka kami rekrut ahli bahasa. Lulusan Unesa. Sekaligus lima orang.
Lima orang itu kewalahan. Kesalahan bahasa begitu merata. Direkrut lagi ahli bahasa angkatan kedua. Seminggu sekali wartawan dan redaktur wajib sekolah bahasa. Pengajarnya para copy editor.
Saya pernah ngambek ke copy editor. Tulisan saya memang menjadi benar –secara bahasa. Tapi juga menjadi hambar. "Tulisan saya menjadi seperti teks telegram," kata saya. Telegram, Anda sudah tidak tahu. Saya pun malas menjelaskan pada Anda apa itu telegram –khawatir Anda menertawakan teknologi komunikasi masa lalu.
BACA JUGA:Alami Kecelakaan, Santri Meninggal Dunia
BACA JUGA:Ajak Ulama Ciptakan Suasana Damai Selama Pemilu