Di bagian bawah struktur, bangsa Romawi menggunakan batu yang lebih berat untuk menahan beban, sementara di bagian kubah yang lebih tinggi, mereka memilih bahan yang lebih ringan seperti batu bata untuk mengurangi tekanan pada bangunan.
BACA JUGA:Optimisme BRI Pada Kebijakan Ekonomi di Era Pemerintahan Baru
Tidak hanya bahan, teknik konstruksi yang digunakan juga terbilang inovatif untuk zamannya.
Kubah Pantheon dibangun secara berlapis, memungkinkan setiap lapisan mengering sempurna sebelum ditambahkan lapisan berikutnya. Metode ini mengurangi kebutuhan akan perancah besar (scaffolding) dan menjaga stabilitas selama pembangunan.
Ketahanan Pantheon tidak hanya bergantung pada bahan dan teknik konstruksi, tetapi juga pada pemeliharaan yang konsisten.
Sejak awal dibangun, Pantheon selalu digunakan, dari kuil Romawi hingga kini menjadi gereja. Penggunaan berkelanjutan ini membantu menjaga keutuhan bangunan.
BACA JUGA:Harga Cabai Merah Anjlok, Cuma Rp10 Ribu per kg
BACA JUGA:Motor Beserta Paket Antaran Digarong Tiga Pelaku Curanmor
Selain itu, komponen-komponen beton Romawi terkenal memiliki ketahanan terhadap cuaca, gempa, dan faktor lingkungan lainnya yang biasanya memperpendek usia bangunan modern. Dengan ketahanan seperti ini, Pantheon tetap tegak di tengah perubahan zaman.
Pantheon adalah bukti kejayaan arsitektur dan ilmu material bangsa Romawi. Beton kuno yang kaya akan abu vulkanik dan lime clasts, dipadukan dengan teknik konstruksi yang cermat, telah menciptakan mahakarya yang terus bertahan.
Penelitian lebih lanjut pada bahan dan metode ini dapat menjadi inspirasi bagi teknik konstruksi modern, sehingga kita bisa membangun dengan ketahanan yang sama seperti karya besar di masa lalu.