Terkunci. Belum saatnya waktu salat. Juga masih tiga jam lagi salat Jumat.
Di halaman masjid itu ada bangunan tempat wudu --membasuh muka sebelum salat. Pakai kran di empat sudutnya.
BACA JUGA:Sempat Dilarang Anak, Roger Danuarta Berhasil Mencoba Skydiving
BACA JUGA:Percepat Proses Naturalisasi 3 Pemain Sebelum Lawan Australia
Halaman masjid ini berupa tanah kering. Cukup luas. Sedikit lebih luas dari masjidnya. Di sebelah tempat wudu itu ada gerbang. Itulah gerbang menuju makam.
Kompleks makam ini tertata rapi. Ada tamannya. Di kanan kiri. Terasa lebih rapi dari masjidnya. Dari gerbang itu pula ada jalan beton selebar tiga meter. Kanan kirinya prasasti. Berjejer. Satu nama satu prasasti. Sesuai dengan nama tokoh yang dimakamkan di situ. Ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Ethiopia.
Di belakang jajaran prasasti itu pepohonan dan semak. Tanaman utamanya kaktus. Tinggi-tinggi, meski tidak setinggi kaktus di Arizona, Amerika.
Di depan sana, di ujung koridor ini, terlihat bangunan berkubah juga. Lebih tinggi dari kubah masjid. Di halaman bangunan berkubah inilah terdapat beberapa makam ”VIP”: keturunan inti muhajirin awal.
BACA JUGA:Indra Sjafri Dipecat, Pengamat Sepakbola Nilai Wajar
BACA JUGA:Menteri Nusron Instruksikan Inventarisasi Tanah Telantar di Kalimantan Timur
Saya pun masuk ke bangunan berkubah. Lima orang bersorban mengiringi saya. Salah satunya adalah kiai di masjid Negash, sekaligus penanggung jawab makam. Umurnya sudah 82 tahun. Salah satu putranya menjadi pemandu wisata lokal di situ.
Gus pemandu ini memberi banyak penjelasan. Sama persis dengan yang ada di internet.
Perusuh seperti Agus Suryo pasti sudah menyiapkan komentar siapa yang dimakamkan di gedung berkubah itu. Juga siapa saja yang namanya ditulis di semua prasasti itu. Saya tidak perlu mendahuluinya.
Yang Suryo pasti tidak bisa menulis adalah: bagaimana bentuk dan keadaan nisan di makam utama itu.
BACA JUGA:Tiga Terdakwa di Sumsel Divonis Hukuman Mati
BACA JUGA:Polda Sumsel Siap Kawal PSU di Empat LAwang