Hampir tidak ada lagi gedung lama yang jelek. Pencakar langit bertumbuhan. Taman-taman kota dibangun. Lampu penerangan gemerlapan –tarif listrik memang murah di sini.
Pokoknya Addis Ababa bukan seperti Afrika yang kita kenal. Saya minta diputarkan kota sebanyak-banyaknya.
BACA JUGA:Momen Penting Merefleksikan Ajaran yang Diwariskan Nabi Muhammad SAW
BACA JUGA:Ikuti Retreat Jadi Modal Berharga Abusama Pimpin OKU Selatan
Jangan-jangan ada kekumuhan di balik gedung-gedung baru itu. Tidak ada. Tidak ada lagi kampung lama yang penuh rumah petak milik orang miskin. Kampung-kampung di balik gedung-gedung baru itu juga sudah tertata.
Apakah ada China Town di Addis Ababa?
"Ada".
"Kita ke sana".
Kami pun keluar dari jalan utama yang gemerlapan. Kami masuk bagian kota yang lebih tersembunyi. Masuk jalan kecil. Barulah terlihat bagian yang belum cantik.
Banyak rumah dan toko lama. Bercampur dengan toko baru dan hotel-hotel baru. Mulai ada toko dengan tulisan Mandarin. Belum banyak tapi mulai terasa ini bakal menjadi China Town masa depan.
BACA JUGA:Dua Kantor Dinas Ini di Mura Digeledah Kejari
BACA JUGA:Waspada Kebakaran Beruntun jelang Ramadan
Kawasan ini sebenarnya belum bisa disebut China Town. Masih campur dengan toko-toko dan rumah suku setempat. Bahwa kampung ini sudah disebut China Town ternyata karena ada satu restoran bernama China Town –terjemahan dari nama aslinya: 中国城酒店。
Kami makan malam di situ. 火锅. Hot pot. Khas Sichuan. Tentu kami minta jangan pakai ma-la –yang pedasnya sampai bisa membuat bibir mati rasa.
Hanya meja kami yang orang-orang Indonesia. Lima meja sebelah kami penuh orang-orang Tionghoa. Saya tanya meja terdekat: pendatang dari Sichuan. Pun meja satunya. Dan satunya lagi. Sedang meja besar penuh wanita muda itu berasal dari Beijing.
Tentu Addis Ababa tidak bisa dikatakan mewakili kondisi Ethiopia keseluruhan. Saya masih harus melihat provinsi yang jauh di pedalaman.