Forpess dan MUI OKU Desak Proses Hukum Tegas Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Terhadap Santri

Forpess dan MUI OKU desak proses hukum tegas kasus dugaan kekerasan seksual terhadap santri. -Istimewa-Eris
BATURAJA - Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan (Forpess) DPD Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten OKU menyatakan sikap tegas terhadap dugaan kekerasan seksual terhadap santriwati di bawah umur yang diduga dilakukan oleh oknum pengasuh salahsatu pondok pesantren di Baturaja berinisial FJ.
Pernyataan sikap bersama ini ditandatangani pada Rabu, 5 Juni 2025, oleh KH. Zulfan Barron, S.Pdi., M.Si., selaku Ketua Umum DPD Forpess OKU, dan KH. Rokhmat Subeki, S.Ag., M.Si., Ketua MUI OKU.
Pernyataan tersebut merupakan respons resmi dari tokoh agama atas kasus yang mencoreng marwah dunia pendidikan Islam di OKU.
Dalam dokumen tersebut, Forpess dan MUI OKU menyampaikan enam poin penting yang menekankan keprihatinan mendalam terhadap peristiwa ini, serta desakan agar aparat penegak hukum menindak tegas tersangka jika terbukti bersalah, tanpa pandang bulu.
BACA JUGA:Harga Telur Pasca Idul Adha Naik Tembus Rp29 Ribu per Kilogram
BACA JUGA:Matahari Pintar
“Ini bukan hanya pelanggaran moral pribadi, tapi juga persoalan legalitas institusi pendidikan keagamaan yang seharusnya menjadi tempat pembentukan akhlak dan spiritual anak-anak,” tegas KH. Zulfan Barron.
Fakta mengejutkan lainnya disampaikan oleh H. Firdaus, Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Pakis) Kemenag OKU.
Ia menyatakan bahwa Pondok Pesantren yang terjadi dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati tersebut hingga saat ini belum terdaftar secara resmi di aplikasi izin operasional Kementerian Agama.
Hal ini tertuang dalam surat resmi tertanggal 4 Juni 2025 dengan nomor: B.747/KK.06.15.03/PP.00/7/06/2025.
BACA JUGA:DPR Minta Pertambangan di Raja Ampat Dikaji Ulang
BACA JUGA:WNI Diminta Hindari Lokasi Demo Imigran di Los Angeles
Ketiadaan legalitas formal ini menambah kekhawatiran masyarakat terkait pengawasan dan akuntabilitas lembaga keagamaan yang menjalankan aktivitas pendidikan tanpa dasar hukum yang sah.
KH. Rokhmat Subeki menyampaikan seruan moral agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, melainkan mendukung proses hukum secara adil.