Bayangkan sulitnya. Rasanya lebih mudah kalau malam itu saya diminta bicara dalam bahasa Mandarin.
Tapi harus bisa. Saya orang Jawa. Saya ingat: pernah berpidato dalam bahasa Jawa. Lebih 25 tahun lalu.
BACA JUGA:Gelapkan Rp 99 Juta, Sales PT Shukaku Ditangkap Polisi
BACA JUGA:Pembina IKAWATI ATR/BPN Tekankan Pentingnya Integritas
Waktu itu Pak Harmoko masih menteri penerangan. Beliau minta agar saya melestarikan majalah berbahasa Jawa, Joyoboyo. Tidak boleh mati. Saya harus membiayai dan menanggung kerugian tiap tahunnya. Itu demi budaya dan sastra Jawa.
Suatu saat Joyoboyo mengundang Pak Harmoko untuk tumpengan. Beliau bersedia hadir dengan syarat: semua acara harus dalam bahasa Jawa. Termasuk semua pidatonya.
Berarti saat berpidato nanti beliau juga harus pakai bahasa Jawa. Beliau menyanggupinya.
Saya pun memulai acara dengan sambutan dalam bahasa Jawa. Rahayu. Lancar.
Lalu tiba giliran Pak Harmoko berpidato. Semua mengira akan baik-baik saja. Toh beliau termasuk orang yang bisa mendalang wayang kulit.
BACA JUGA:SERU ! Mini Soccer Digelar di Pantai Pasir Sungai Ogan
BACA JUGA:Pertamina Kenalkan Industri Hulu Migas ke Siswa
Ternyata lucu sekali. Beliau menyerah di menit kelima.
"Saya mengaku kalah," katanya. Pidatonya pun dilanjutkan dengan bahasa Indonesia.
Pun Ibnu Sunanto. Bahasa Jawanya sudah kecampur 30 persen bahasa Indonesia. Masih untung. Tidak kecampur bahasa fintech.
Begitu sulit mempertahankan budaya Jawa yang katanya adiluhung itu.
Tapi saya kagum dengan Ibnu Sunanto. Jagat bisnisnya adalah fintech. Uang digital. Aplikasi online. Tapi kehidupan rohaninya sangat Jawa.