Begitu UU Pers disahkan, Dewan Pers harus dibentuk. Bingung: siapa yang harus membentuk dan bagaimana caranya.
Akhirnya seluruh organisasi pers berkumpul di Bandung. Seingat saya lebih 20 organisasi pers. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang sudah lama, ada yang baru dibentuk.
PWI bukan lagi satu-satunya organisasi wartawan. Sudah ada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) –yang punya semangat anti kemapanan.
BACA JUGA:Hilangkan Keriput Wajah, Raffi Ahmad Rutin Jalani Perawatan di Korea
BACA JUGA:Tekad Wujudkan swasembada Pangan
Ada pula PWI-Reformasi –yang ini umurnya tidak panjang. Saking banyaknya saya sudah lupa nama-namanya. Banyak juga yang sekarang sudah meninggal dunia.
Jalannya rapat pun meriah –cenderung kacau. Semua organisasi pers merasa sejajar. PWI tidak diistimewakan lagi. PWI dianggap bagian dari Orde Baru.
Yang lebih sulit lagi saat pemilihan siapa yang akan jadi ketua Dewan Pers. Calonnya terlalu banyak. Masing-masing organisasi mengajukan calon ketuanya sendiri. Semua merasa berhak. Merasa mampu.
Saya tidak mau mencalonkan diri, meski beberapa orang minta saya maju. Saat itulah saya berbicara di forum: mengapa saya tidak mencalonkan diri.
BACA JUGA:Gelar Pilkades 40 Desa, Siapkan Anggaran Rp 1,9 Miliar
BACA JUGA:Siap-siap Hewan Ternak Liar Bakal Disuntik Satpol PP
"Calon ketua Dewan Pers haruslah seorang tokoh yang sudah di kelas Langitan," kata saya.
Waktu itu istilah ''Langitan'' lagi top berkat Gus Dur: ada istilah baru ''Kiai Langitan''. Itu untuk membedakan kelas-kelas dalam kekiaian.
Ada kiai yang pesantrennya besar, ternama, tapi kualitas kiainya belum Langitan. Ada lagi kiai terkenal tapi tidak langitan karena terlalu berpolitik.
Maka ketua Dewan Pers haruslah seorang intelektual terkemuka. Bukan sekadar bergelar doktor atau master.
BACA JUGA:Bantai Sevilla, Barcelona Persengit Perebutan Gelar La Liga