BACA JUGA:Astronom Temukan Cadangan Air di Quasar Berjarak 12 Miliar Tahun Cahaya
Begitu besarnya smelter Freeport di Gresik itu sampai bisa mengolah 1,7 juta ton konsentrat setahun.
Pemerintah pun melarang Freeport mengekspor konsentrat. Seperti juga melarang ekspor nikel ore.
Tentu smelter-smelter di luar negeri yang selama ini mendapat bahan baku dari Papua menjerit setengah mati. Mereka pun rebutan bahan baku dari mana pun yang masih bisa didapat.
Kini persoalan muncul: dengan berhentinya smelter Freeport di Gresik bagaimana dengan konsentrat yang dihasilkan Freeport Papua. Tentu Freeport minta dispensasi: agar selama smelternya belum berproduksi diperbolehkan ekspor konsentrat.
BACA JUGA:iPad Mini 7 Resmi Hadir di Indonesia Andalkan Chipset Apple A17 Pro
BACA JUGA:Militer AS Mengadopsi Kontroler Xbox untuk Sistem Canggih
Menteri seperti Bahlil Lahadalia sudah tegas menolak permohonan dispensasi itu. Bahkan menteri ESDM itu curiga kalau ekspor diizinkan perbaikan smelternya bisa lebih lambat.
Kasus kebakaran smelter baru Freeport ini tentu menarik ditinjau dari segi apa pun: manajemen proyek, sistem komisioning, manajemen instalasi sampai ke manajemen pengawasan proyek.
Proyek besar yang mirip seperti itu terjadi Krakatau Steel. Lebih 10 tahun lalu. Peleburan baja di Cilegon itu meledak di saat uji coba produksi. Masih belum diserahterimakan ke pemilik proyek: Krakatau Steel.
Memang itu masih dalam tanggung jawab kontraktor EPC, tapi dampaknya bagi Krakatau Steel sangat mematikan. Apalagi si kontraktor asing tidak dalam kemampuan mengatasi biaya rehabilitasinya --praktis seperti membangun peleburan baru.
BACA JUGA:Proyek Kebangkitan Mammoth Berbulu, Upaya Menghidupkan Hewan Purba yang Telah Punah
BACA JUGA:Beraksi di OKU Timur, 5 Terduga Perampok Asal OKU Ditangkap
Kalau di Freeport hanya mesin bagian polusi yang terbakar. Di Krakatau Steel mesin utamanya yang meledak hancur.
Proyek besar punya 2 besar. Hanya orang dengan nyali besar berani masuk proyek besar.(Dahlan Iskan)