Dan itu pula rupanya yang membuat Mamak akhirnya harus bisa pidato dalam bahasa Arab. Padahal ia hanya lulusan SMA di Ampel: SMA Alkhairiyah.
Setelah itu ia tidak ke mana-mana: fokus sebagai pemain sepak bola. Mulai dari Niac Mitra junior sampai menjadi pemain utama di level senior.
BACA JUGA:Tes PPPK Tahap I Dimulai
BACA JUGA:Tanpa Gugatan, Tunggu Surat MK
Begitu ayahnya meninggal –dan Mamak harus mewarisi semua peninggalan sang ayah– ia mendalami agama lebih keras.
"Dalam hal kealiman, mana yang lebih alim: Anda atau adik Anda itu," tanya saya sambil menunjuk adiknya yang lagi memimpin bacaan Surah Yassin di rangkaian tahlil itu.
"Sekarang ia masih lebih alim. Tapi tidak lama lagi bisa saya selip," jawabnya.
Rupanya Mamak benar-benar ingin fokus bertransformasi dari bintang lapangan sepak bola ke panggung agama.
BACA JUGA:MANTAP ! SSB PSS Juara Festival Sepak Bola U-12 se-Sumsel Piala HUT Ogan Ilir United 2024
BACA JUGA:Barcelona Terancam Kehilangan Dana Rp1,03 Triliun
Tidak. Rupanya tidak harus begitu. Mamak tidak akan bisa sepenuhnya meninggalkan sepak bola.
Di acara itu misalnya, ia sudah pakai kopiah putih, sorban hijau dan baju gamis panjang, tapi rambutnya masih ia biarkan keriting memanjang sampai dekat bahu. Dan baju Arab-nya masih dibungkus dengan jas hitam. Itu bukan jas biasa. Di lengannya tertempel lambang PSSI. Pun di bagian dadanya.
Mamak Alhadad memang legenda sepak bola. Saat menjadi pemain Niac Mitra, tim itu juara Galatama. Sampai tiga kali atau empat kali. Masih ditambah juara berbagai turnamen. Ia satu angkatan dengan pemain impor David Lee dan Fandi Ahmad. Juga dengan pemain lokal seperti Hanafing, Rudy Keltjes, dan Djoko Malis.
Yang membuat publik bola sangat simpati padanya adalah: ia tipe pemain yang setia. Sepanjang karirnya Mamak hanya bermain untuk satu klub: Niac Mitra.
BACA JUGA:Tidur Setelah Olahraga, Aman atau Berisiko?
BACA JUGA:Sering Kesemutan? Kenali Penyebab dan Cara Mengatasinya