Selain Rohidin, ada dua tersangka lain yang juga ditetapkan, yaitu Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri, dan Ajudan Gubernur, Evriansyah alias Anca.
Para tersangka dihadapkan pada dakwaan yang serius, melanggar ketentuan Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 KUHP.
BACA JUGA:KPK Harap Mantan Gubernur Kalsel Bisa Kooperatif
BACA JUGA:Artis yang Jadi Pejabat Hati-hati, Ini Kata KPK
Implikasi Politik dan Hukum
Penangkapan ini memiliki implikasi yang luas, tidak hanya terhadap individu yang terlibat tetapi juga terhadap dinamika politik di Bengkulu dan Indonesia secara lebih luas.
Pilkada yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, kini tersandung skandal korupsi yang menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam upaya memerangi korupsi di negara ini.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam konferensi pers tadi malam menggarisbawahi pentingnya integritas dalam Pilkada.
Marwata mengutip pesan dari seorang ustadz, "Menerima suap tidak membuat kaya dan menolak suap tidak menjadikan miskin," menekankan bahwa kejujuran dan integritas adalah modal dasar dalam politik.
Edukasi dan Tanggung Jawab Bersama
Selain mengurus kasus hukum, KPK juga memfokuskan pada pentingnya pendidikan politik di daerah-daerah yang sering terjadi kasus serupa.
Upaya ini dilihat sebagai kunci dalam menciptakan Pilkada yang berintegritas dan transparan, menjauhkan praktik money politic yang hanya akan merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
Di tengah dinamika politik yang penuh gejolak ini, masyarakat Bengkulu dan Indonesia diingatkan akan pentingnya partisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Pemilihan umum yang akan datang bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang membangun fondasi yang kuat untuk pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
BACA JUGA:Berkas Perkara Firli Bahuri Segera Rampung
BACA JUGA:Firli Cabut Gugatan Praperadilan?