Bulgalbi Ortodok

Bulgalbi Ortodok-Photo: istimewa-Gus munir
Sang penceramah, sang imam dan yang berkhotbah satu orang. Tua sekali. Bersorban. Suaranya lirih. Pengeras suaranya tidak berfungai dengan jelas. Nada khotbahnya datar. Membosankan.
Di sana rupanya tidak ada pengkhutbah yang semuda dan seganteng pendeta Philip Mantofa yang jadi pujaan anak muda di gereja Mawar Sharon.
Dari masjid, saya minta diantar ke gereja Ortodok terbesar di Makelle. Jaraknya lima menit perjalanan mobil.
Dari jauh bangunan itu saya kira masjid. Berkubah-kubah. Gerbangnya lengkung-lengkung seperti Islami. Itulah gereja Kristen Ortodok terbesar di Makelle.
BACA JUGA:Ditengah Kasus Perceraiannya, Paula Verhoeven Aktif Jalankan Bisnis Baru
BACA JUGA:Erick Thohir Target Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia U-17 2025
Jalan masuknya masih tanah. Tanah kering. Halamannya juga masih tanah. Gerbang itu belum sepenuhnya jadi. Baru sepertiga jadi. Kelihatan sekali: pendanaannya seret.
Semua pintunya terkunci. Saya putari gereja itu. Siapa tahu ada pintu belakang yang terbuka. Tidak ada.
Beberapa wanita duduk tafakur di dekat salah satu pintu gereja. Lalu ada lelaki bersurban mirip pakaian seorang ulama Islam. Ia duduk di kursi menghadap dinding. Ia seperti bicara dengan dinding. Di belakang ulama itu ada tirai. Kain kuning. Seperti melindungi privasinya.
Saya mendekat. Ternyata ia membaca kitab. Mungkin injil. Ukuran kecil. Tidak sampai selebar telapak tangan. Khusuk sekali. Tidak menghiraukan kedatangan saya. Mengabaikan gerakan saya memotretnya. (Lihat foto).
BACA JUGA:Manchester United Menang Dramatis Atas Ipswich Town
BACA JUGA:Kilang Minyak Terbakar
Saya gagal masuk gereja itu.
"Kita pergi makan siang," kata saya kepada sopir.
"Masakan apa?”.