Anak Pungut
Salah satu dokumentasi ketika Mudrick Sangidu masih aktif demo di usia senjanya. (Foto: Disway)-Photo: istimewa-Gus munir
"Saya pilih istilah anak pungut. Beliaulah yang memungut saya dari pinggir jalan," seloroh Boyamin.
"Pinggir jalan" yang dimaksud adalah jalan rute demo-demo mahasiswa di Solo.
Ketika Boyamin kuliah di Universitas Muhammadiyah Solo, Mudrick sudah menjadi tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Solo. Bukan ketua tapi lebih wibawa dari ketua.
Mudrick orang kaya. Mapan. Independen. Punya bisnis batik yang saat itu lagi jaya-jayanya. Juga punya bisnis barang antik yang sangat bernilai tinggi.
BACA JUGA:Libur Sekolah Saat Bulan Puasa Dibatalkan
BACA JUGA:OKU Berpotensi Banjir-Longsor bersama 11 Daerah lainnya saat Musim Hujan
Saat itulah Mudrick minta agar PPP Solo merekrut anak-anak muda. Mahasiswa. Harus banyak anak muda jadi calon anggota DPRD dari PPP.
Salah satunya Boyamin yang saat itu masih mahasiswa hukum semester lima.
Tentu banyak tokoh PPP yang protes. Mereka takut tergeser dari kursi DPRD. Apalagi orang seperti Boyamin ditempatkan di ''nomor jadi''. Yakni nomor urut empat. Pasti jadi. Sebelum itu saja PPP sudah punya enam kursi.
Mudrick tahu Boyamin sering ikut demo mahasiswa. Anti Orde Baru. Anti Soeharto. Cocok dengan sikapnya sendiri.
BACA JUGA:Cegah Penyebaran PMK, Lakukan Vaksinasi Hewan Ternak Berkuku Belah
BACA JUGA:Tingkatkan Produksi Jagung, Lakukan Penanaman Serentak
Dan lagi Mudrick kenal kakak Boyamin: Ketua PPP Ponorogo. Boyamin pun dianggap kader murni PPP.
Strategi Mudrick berhasil. PPP mendapat 15 kursi. Meroket. Yang protes karena dapat ''nomor sepatu'' pun puas. Ternyata tetap terpilih.
Memang situasi politik saat itu sangat menguntungkan PPP Solo. Megawati lagi terzolimi –pun oleh partainyi sendiri.