Sampit Bantul

Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan Presidential Threshold. -Foto:UIN Suka-Gus munir

BACA JUGA:5 Inspirasi Padu Padan Hijab untuk Baju Pink Salem

BACA JUGA:Pelaku Usaha Berharap Dukungan Insentif

Mereka pilih mengajukan gugatan justru setelah Pilpres 2024 berlalu. Itu untuk menghindari tekanan politik dari banyak pihak. Mereka mahasiswa berprestasi. Suka diskusi. Suka debat, di lomba debat sekali pun.

Empat mahasiswa itu telah membuat sejarah: ketika masih begitu muda. Mereka jeli mengambil langkah ini: mengambil legal standing "sebagai subjek demokrasi". Mereka merasa bukan objek demokrasi.

Enika dkk itu juga tercatat dalam sejarah sebagai telah "mengalahkan" 32 penggugat sebelumnya.

Ambang batas 20 persen itu sudah sering digugat ke MK. Sejak lebih 15 tahun lalu.

BACA JUGA:NU Dukung Keputusan MK

BACA JUGA:Nikah Wajib Berdasar Agama

Banyak di antara penggugat itu bergelar profesor doktor. Seperti Prof Dr Yusril Ihza Mahendra yang kini jadi Menko hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.

Juga Prof Dr Effendi Gazali, guru besar Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama). Semuanya ditolak oleh MK.

Justru ketika empat mahasiswa UIN Yogya itu yang maju, gugatan mereka dikabulkan. Partai sekecil apa pun kini bisa mengajukan pasangan calon presiden. Asal partai itu sudah dinyatakan lolos ikut Pemilu di tahun itu.

Meski begitu bebas, tidak ada tokoh yang memperkirakan pasangan capres kita kelak sampai sebanyak 30 orang.

BACA JUGA:Jenazah Mahasiswa Bengkulu Dievakuasi Secara Estafet

BACA JUGA:BSB Catat Total Aset Rp5,4 T di 2024

Ahli politik dari Universitas Airlangga Dr Haryadi --yang pernah dekat dengan Jokowi sekaligus Megawati-- melihat putusan MK ini "hanya sepotong dan segmented". Yakni hanya mengutamakan "kebebasan" tapi mengabaikan sisi "tanggung jawab".

Tag
Share