Saya percaya kehebatan Pebble Beach, meski bagi saya terasa sama saja: enak dipandang sulit dipegang.
Kota pantai Carmel sendiri memang istimewa. Anda sudah tahu bintang film Hollywood siapa saja yang punya rumah di sini.
BACA JUGA:Korban Jaranan kuda kepang Bertambah
BACA JUGA:Siap-Siap Seleksi CASN 2024, Total ada 2,3 juta formasi
Hari itu sudah terlalu senja untuk ke golf Pebble Beach. Kami pilih kya-kya dulu seputar kota. Langit senja sangat cerah. Udara sejuk. Bikin perut kian lapar.
Maka sebelum menyaksikan sunset di pantai Carmel, kami makan dulu. Kevin pilihkan kami restoran Jepang: Toro. Dekat pantai. Dapat meja di luar. Justru lebih indah. Bahwa terlalu sejuk, pelayan menyalakan obor dari gas di dekat meja makan. Duh, romantisnya --kalau saja kami masih muda.
Melihat saya dan Kevin ngobrol dalam bahasa Jawa, Si cantik di resto itu mendekat: "Dari Indonesia ya?" tanyanyi dalam Bahasa Indonesia.
Dia ternyata anak Jogja asal Lampung. Kuliah di dekat kota ini. Sambil bekerja. Lalu dia menyajikan sepiring sushi lagi, sushi lain yang tidak kami pesan. "Ini hadiah dari chef kami. Orang Indonesia juga," katanyi.
BACA JUGA:Tangkap Dua Terduga Kurir Narkoba
BACA JUGA:Curi Sepeda Motor dan Besi Proyek PLTU, Grisno Dibekuk Polisi
Begitu kami meninggalkan Toro, chef itu mengejar: ia memperkenalkan diri. Anak muda. Asal Jakarta. Namanya: Mohammad. Ia ternyata sudah keliling Amerika. Jadi chef resto Jepang di kota-kota besar di sana.
Di kota sekecil dan sejauh ini pun ada putra kita yang tidak mau jadi generasi penyesal diri.
Sebagai kota wisata, pukul 06.30 Carmel masih ngorok. Enak-enaknya tidur. Saya jadi leluasa senam dansa sendirian di taman depan hotel.
Satu jam kemudian pun pada belum bangun. Saya harus disiplin olahraga. Perjalanan ini melelahkan.
BACA JUGA:Nobel Caltech
BACA JUGA:Saluran Tersumbat, Air Meluap Bikin Banjir