Saya hitung: 40 orang. Padahal yang diperlukan hanya 13 saja: 12 sebagai juri, satu cadangan. Atau ini untuk dua atau tiga tim juri?
Tepat pukul 09.00 mereka antre masuk salah satu ruangan. Di pintu masuk mereka ditanya nama, lalu dicocokkan dengan daftar. Lantas diberi kartu nomor. John dapat nomor 45 dari total 48 orang calon juri.
Di dalam ruangan mereka duduk di kursi yang dijejer seperti dalam kelas. Saya bisa mengintip karena pintu terbuka.
Di ruang itulah dijelaskan tata cara wawancara. Lalu pintu ditutup.
BACA JUGA:Pensiun, Final Liga Champions Jadi Terakhir Luka Modric
BACA JUGA:Kieran McKenna Optimistis Bisa Latih Manchester United
Sesaat kemudian Si hamil tua keluar dari ruangan. Boleh tidak jadi juri. Dia mungkin akan melahirkan saat persidangan berlangsung.
Lalu ada lagi yang keluar. Juga wanita. Dia dokter. Sudah terikat janji melakukan operasi bedah jantung sore itu.
Tidak sampai satu jam, banyak orang keluar dari ruangan. Termasuk John. Ia mengepalkan tangan sambil tersenyum lebar. Belum sampai pada nomor urutnya, 13 nama sudah didapat.
Di mobil John bercerita: begitu tahu kisi-kisi persidangan itu untuk perkara apa, John langsung punya ide untuk tidak terpilih.
BACA JUGA:Gencar Sosialiasai Larangan Musik House
BACA JUGA:Turunkan Alat Berat untuk Bersihkan Material Longsor
Calon juri memang tidak diberi tahu perkaranya nanti soal apa. Tapi John menangkap kisi-kisinya: yang salah satu keluarganya menjadi polisi diminta angkat tangan. Beberapa orang angkat tangan. Mereka dianggap tidak memenuhi syarat. Berarti, pikir John, ini perkara penjahat yang melawan polisi.
Maka langsung terpikir oleh John bahwa ia juga bisa tidak memenuhi syarat. Ia pernah menjadi polisi militer. Pasti pro-polisi. Yakni ketika ia menjadi tentara di masa muda dulu.
Waktu itu ia bertugas di Jerman dan Perancis mengawasi tentara Amerika di sana. Belum sampai senjata itu digunakan John sudah terbebas.
"Ke mana?"