Bangunan pengadilan ini sudah model baru. Satu lantai. Di belakang gedung asli. Gedung tuanya, yang masih anggun, dipertahankan sebagai bangunan bersejarah.
BACA JUGA:Cara Hilangkan Sakit Gigi dengan Bahan Alami
BACA JUGA:Nirina Zubir Akhirnya Terima Kembali Sertifikat Tanahnya
Dari tempat parkir John menuju pintu utama. Saya berjalan di belakangnya. Spekulasi. Siapa tahu boleh ikut masuk.
Setelah melewati pintu ganda, barang bawaan harus masuk mesin detektor.
John harus balik ke mobil. Ia membawa pisau lipat kecil yang tidak lolos detektor.
Saya ditinggal di situ. Saya ngobrol dengan tiga petugas jaga: dua kulit putih seperti sosok di di film cowboy, satu kulit hitam kekar.
Saya perkenalkan diri: dari Indonesia, steman calon juri yang akan diwawancara. Mereka menyambut baik. Boleh masuk. Diminta duduk di kursi panjang di koridor dalam.
BACA JUGA:Alan Walker Beri Kejutan Datangi Sekolah Al-Azhar Medan
BACA JUGA:Grebek Gudang BBM Ilegal, Hasilnya
Saya pun duduk di situ. Lorong ini lebar. Sekitar 6 meter. Tidak terasa sebagai lorong. Beberapa kursi panjang ada di kiri lorong. Kanannya kosong. Banyak display di dinding kanan: termasuk jejeran foto-foto anggota asosiasi pengacara di wilayah itu.
Saya pun berdiri. Pilih lihat-lihat display itu. Lalu mengintip sana-sini. Di kanan-kiri lorong ada beberapa pintu. Itulah pintu masuk ruang-ruang sidang pengadilan. Salah satunya lebih besar. Susunannya mirip yang di ruang pengadilan Presiden Trump di New York yang pernah saya lihat.
Kian lama kian banyak yang duduk di kursi panjang. Saya bertanya ke wanita setengah baya di kursi itu. Dia kulit putih. Blonde. Modis. Dia menjawab: dia juga datang untuk wawancara jadi juri.
Kursi panjang pun tidak cukup. Banyak yang berdiri. Salah satunya: wanita yang lagi hamil tua. Pun dalam kondisi seperti itu dia harus datang: agar tidak kena pasal contempt of court.
BACA JUGA:15 Desa di OKI Belum Teraliri Listrik
BACA JUGA:Tolak Revisi UU Penyiaran, Ratusan Jurnalis Sambangi DPRD Sumsel