Lokasi pit stop Sato persis di depan tempat duduk saya. Saya di deret kelima. Bisa melihat ganti ban dengan jelas.
Tidak lama Sato turun di posisi delapan. Dalam waktu singkat ia bisa naik drastis ke urutan satu lagi.
BACA JUGA:Sidang Lanjutan Kasus Pengadaan Jalan Tol Tempino Jambi
BACA JUGA:Uang Negara Rp300 Juta Berhasil Diselamatkan
Lalu saya harus ke kamar kecil. Meski penonton begitu banyak tidak ada antrean di kamar kecil. Untuk toilet laki-laki tidak pakai urinoir. Diganti stainless steel memanjang seperti talang. Bisa muat banyak. Kesannya tetap mewah.
Balik dari kamar kecil, petugas pit stop di depan saya seperti lesu. Saya menatap layar. Nama Sato ternyata tergusur dari 10 besar. Ia tergeser jauh ke bawah. Saya berharap beberapa lap berikutnya Sato akan di depan lagi.
Tidak. Tidak pernah bisa naik lagi.
Dahlan Iskan di garasi mobil Marco Andretti.
Saya tinggalkan tempat duduk. Saya ajak Maya pergi ke museum balap mobil. Lokasinya di dalam stadion juga.
Sambil berjalan ke museum saya tetap bisa nonton. Saya amati perkembangan Sato di layar. Banyak layar besar di sepanjang jalan. Sato tetap tidak terbilang lagi di layar.
BACA JUGA:7 Olahraga Ampuh Kendalikan Gula Darah, Cocok untuk Penderita Diabetes
BACA JUGA:Manfaat Ghee bagi Penderita Diabetes
Menonton balap mobil –seperti Indy 500– yang menarik adalah pembukaan dan penutupannya. Balapannya sendiri sulit dinikmati. Saat melintas di depan tribun saya, misalnya, kecepatan mobilnya 385 km/jam. Jauh lebih cepat dari kereta Whoosh. Juga lebih cepat Dari mobil Formula 1.
Di Formula 1 kita masih bisa menandai mana mobil yang kita dukung. Terlihat dari warna mobil. Atau warna helm pembalapnya.
Di Indy 500 saya hanya bisa melihat bayangan kabur sebuah mobil yang melesat cepat. Warna mobil sudah tidak begitu jelas. Apalagi warna helm pembalapnya.
Maka yang kami tonton adalah suara deru mobilnya. Untuk posisi pembalap harus lihat layar lebar. Sama-sama menonton di layar kenapa tidak menonton di rumah saja.