"Saya tahu. Saya sudah beberapa kali ke Qinghai. Banyak sekali masjid di sana," kata saya.
Ia tampak heran mendengar saya pernah ke Qinghai.
"Kalau Anda dari mana?” tanya saya kepada yang satunya.
BACA JUGA:Tips Mudah Menggambar Alis Rapi dan On Point Tanpa Dicukur
BACA JUGA:8 Model Gamis Batik Pesta yang Bikin Tampil Stylish dan Elegan
"Saya dari Xining," jawabnya.
"Oh... Jauh juga. Saya pernah ke Xining. Di Xining juga banyak sekali masjid," kata saya.
"Ke Xining untuk wisata?" tanyanya.
"Tidak. Saya ke Xining untuk ke gurun Ghobi. Saya ingin tahu pembangkit listrik tenaga angin yang sangat banyak dipasang di gurun Ghobi," jawab saya.
Lalu berdatanganlah anak-anak muda mirip wajah Asia Tengah. Saya pun menyapa mereka. Satu bernama Ahmadullo dari Tajikistan. Satunya bernama Alibek dari Kazakstan. Satu lagi Abdullah Khan dari Afghanistan.
Mereka semua mahasiswa. Mereka belajar bahasa Mandarin di Qingdao. Masih ada lagi dari Syria. Dari kota Aleppo --yang hancur akibat perang panjang di Syria. Ada pula dari Maroko. Dari Kashmir. Dari New Delhi. Kami, dari tujuh negara yang berbeda, saling berbicara dalam bahasa Mandarin.
"Apa kabar?” tiba-tiba yang dari Tajikistan menyapa saya dalam bahasa Indonesia.
BACA JUGA:PT BPR Baturaja Raih 4 Penghargaan Nasional di TOP BUMD Awards 2025
BACA JUGA:60 Persen Penduduk Indonesia Kategori Miskin
"会讲印尼话吗," tanya saya balik.
Dia bilang, ada 30 mahasiswa dari Indonesia di kampusnya di Qingdao --dua jam naik kereta '’C'’ dari Rizhao.