Usai salat Jumat kami berkumpul di halaman masjid. Luas. Udara sejuk. Matahari sangat terik di pukul 14.30. Salat Jumat di Qingdao memang baru dimulai hampir pukul 14.00.
Kebanyakan orang KAI tersebut adalah masinis --sopir kereta. Mereka sebenarnya sudah biasa menjalankan KRL made in Japan atau INKA Madiun. Tapi mereka harus training lagi. Yang akan mereka jalankan nanti KRL made in Qingdao.
BACA JUGA:Indonesia Raih Perunggu di Piala Sudirman 2025
BACA JUGA:Cole Palmer Dikabarkan Akan Pindah ke Manchester United
Lima rangkaian KRL itu sudah tidak di Indonesia: sedang menjalani berbagai test yang dilaksanakan kementerian perhubungan. Masih enam rangkaian lagi yang belum tiba.
"Akhir bulan ini KRL made in Qingdao sudah beroperasi di Jakarta," ujar salah satu dari mereka.
Bagi mereka Jumat kemarin itu merupakan pengalaman pertama salat Jumat di Tiongkok. Salah satu dari mereka mengenakan baju batik dan kain sarung. "Biar mereka tahu inilah budaya Indonesia," katanya.
"Kok pakai sarung?”
"Saya NU," jawabnya.
Khutbah Jumat di masjid tadi pendek sekali: hanya lima menit. Pembukaannya pakai bahasa Arab. Pengucapannya jelas dan fasih. Lalu pakai bahasa Mandarin. Setelah jeda duduk pengkhotbah melanjutkannya dengan doa dalam bahasa Arab.
Selesai. Lima menit tepat. Seperti tepatnya jadwal KRL.
BACA JUGA:Inter Milan Jaga Asa Scudetto
BACA JUGA:Rahasia Sambal Bawang Enak Ala Warung Geprek, Bebas Bau Langu
Saya sudah tiba di masjid itu satu jam sebelumnya. Masih sepi. Dua orang Tionghoa duduk di kursi taman. Saya coba ajak ngobrol dalam bahasa Mandarin.
"Saya dari Indonesia. Anda dari daerah mana?”
"Saya dari Qinghai," jawabnya. "Qinghai itu jauh sekali. Di bagian barat Tiongkok", katanya.