MUI Tanggapi Soal Korban Pemerkosaan Diperbolehkan Aborsi
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Miftahul Huda. -Foto: Sabrina Hutajulu.-
JAKARTA - Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda, menegaskan bahwa aborsi dapat diperbolehkan dalam kasus adanya indikasi kedaruratan klinis. Menurutnya, jika tidak terdapat indikasi semacam itu, maka aborsi tidak sesuai dengan syariat agama.
“Harus ada indikasi kedaruratan klinis. Jika tidak ada indikasi tersebut, maka aborsi tidak dibenarkan menurut syariat agama,” ujar Miftahul Huda saat ditemui di Jakarta Selatan pada Jumat, 30 Agustus 2024.
Ketentuan ini juga berlaku bagi korban pemerkosaan. Miftahul Huda menyatakan bahwa pertimbangan utama dalam kasus ini adalah kesehatan dan keselamatan ibu, termasuk kesehatan mental yang juga menjadi faktor penting.
BACA JUGA:21 Ribu RPK Bulog Tersebar di Seluruh Indonesia
BACA JUGA:SIG Ciptakan Peluang Pertumbuhan Melalui Produk Ramah Lingkungan
“Untuk korban pemerkosaan, prinsipnya sama. Apakah mempertahankan kehamilan dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu atau tidak, termasuk kesehatan mental juga menjadi pertimbangan,” tambahnya.
Sebelumnya, pemerintah telah memberikan izin praktik aborsi dalam situasi dan kondisi tertentu. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
BACA JUGA:Industri Film Indonesia Masuk 12 Besar Dunia
BACA JUGA:Ditkrimsus Polda Metro Jaya Bekuk 1 Tersangka Peretas Server Pulsa Smartfren
Dalam peraturan tersebut dinyatakan, "Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana."
Indikasi kedaruratan medis ini mencakup situasi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu, atau kondisi janin yang mengalami cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki, sehingga tidak memungkinkan untuk hidup di luar kandungan. (*)