Sedih Tidak
Dahlan Iskan-Photo: istimewa-Gus munir
Ahmadie rupanya juga seperti Anda: menerima kiriman video entah dari mana. Tentang suami menantunya Pak Iskan itu. Yang lagi viral. Lalu video lama pun, yang dulu juga viral, jadi ikut viral lagi, nebeng keviralan video agama tanpa sembahyang itu.
Tentu saya tidak mampu menjawab satu persatu WA itu. Untungnya banyak orang sudah memberikan penjelasan --seolah mewakili saya. Salah satunya dari Ahmadie Thaha. Ia seperti tahu isi jawabannya itu pasti saya setujui.
Untuk menjawab teman-temannya itu Ahmadie tidak bertanya pada saya. Ia justru bertanya dulu ke ChatGPT.
Pertanyaan yang ia ajukan ke ChatGPT adalah: "apakah tindakan Dahlan Iskan seperti itu merupakan sembahyang atau ibadah".
BACA JUGA:PCOS Serang Remaja dan Ibu Muda
BACA JUGA:Truk Sayur Tutupi Jalur Palembang-Jambi, ini Sebabnya
ChatGPT, menurut Ahmadie menjawab begini: itu bukan sembahyang atau ibadah. Hanya sebuah ritual penghormatan.
Ahmadie sendiri alumni pesantren Al Amin, Prenduan, ”Gontor”-nya Madura. Ia angkatan keempat. Masih era harus menanak nasi sendiri. Belum ada listrik. Pakai lampu teplok.
Setelah tamat Al Amin, Ahmadie harus ”mengabdi” dua tahun, mengajar tanpa gaji. Seperti itu pula tradisi di Gontor, Ponorogo.
Setelah itu ia ingin masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Atau UGM. Ditolak. Alasannya: hanya lulusan pondok --masih ikut aturan lama.
BACA JUGA:Cara Membedakan Daging Segar dan Daging Busuk Serta Cara Menyimpan Daging Agar Tetap Segar
BACA JUGA:Tips Memilhi Semangka Yang Manis dan Segar
Padahal secara keilmuan banyak pun sarjana IAIN yang tidak sehebat dirinya. Sambil lontang-lantung di Yogya Ahmadie menerjemahkan kitab-kitab klasik seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Juga Ar-Risalah karya ulama dunia Imam Syafii. Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali. Shahih Bukhari dan banyak lagi.
Lontang lantung tapi produktif.
Ahmadie pun ke Jakarta. Ia masuk Universitas As-Syafiiyah, sampai tingkat sarjana muda. Dari situ barulah bisa lanjut kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Selesai 1996.