Hasil Demo

Dying to Survive. -Istimewa-
BACA JUGA:Disway Malang
BACA JUGA:Event Disway Mancing 2024, Wartawan TVRI Raih Juara 1
Bukan hanya harga obat yang turun --sampai 63 persen-- aturan untuk memproduksi obat pun diubah. Disederhanakan.
Perdana Menteri (waktu itu) Li Keqiang, langsung merevolusi sistem obat dan kesehatan di Tiongkok. "Rakyat tidak perlu lagi memilih hidup atau bangkrut," katanya.
Sejak saat itu pelayanan kesehatan masyarakat jadi lebih adil. Yang berobat di BPJS pun mendapat obat dengan kualitas yang sama dengan yang non-BPJS.
Boleh dikata film Dying to Survive adalah film yang sukses dunia-akhirat. Film itu telah mengubah sistem kesehatan negara. Aspirasi lewat film pun begitu didengar.
Secara bisnis, film ini memang mengeruk keuntungan yang besar. Dalam 11 hari pertama peredarannya sudah menghasilkan pendapatan Rp 5 triliun. Lalu menjadi Rp 10 triliun. Termasuk film terlaris sepanjang masa di Tiongkok.
BACA JUGA:260 Disway
BACA JUGA:Disway Network dan B Universe Jalin Kemitraan
Padahal Wen Muye (文牧野) baru kali pertama menyutradarai film cerita. Namanya langsung meroket.
"Apakah masih ada bioskop yang memutarnya? Saya mau menontonnya," tanya saya kepada petugas hotel
"Tidak diputar lagi. Tapi Anda bisa nonton di TV Anda di kamar," katanya. Saya pun minta tolong: agar sang petugas membantu saya mencarikan film tersebut. Rupanya ada semacam ”Netflix” milik Tiongkok yang memutar film-film setempat.
Musik pembuka film itu sangat akrab di telinga saya: musik India. Lagunya pun lagu India. Awal menonton film ini seperti akan menonton film India.
Saya pun bertanya, dalam hati: bagaimana sutradara Wen bisa meloloskan filmmya dari lembaga sensor di sebuah negara komunis.