Hasil Demo

Dying to Survive. -Istimewa-

BACA JUGA:260 Disway

BACA JUGA:Disway Network dan B Universe Jalin Kemitraan

Protes masyarakat telah mengubah kebijakan pemerintah secara drastis.

Saya tahu adanya film Dying to Survive dari dr Jagaddhito yang kemarin datang ke Beijing dari Rizhao --tempatnya mengambil gelar subspesialis jantung intervensi.

Di Rizhao, Shandong, Jagad kaget melihat di RS itu harga-harga obat sangat murah. Pun harga-harga ring jantung dan kelengkapan lainnya.

Dokter Jagaddhito terus bertanya mengapa bisa murah. Akhirnya ia memperoleh penjelasan bahwa murahnya harga obat baru terjadi beberapa tahun terakhir. "Sejak ada film Dying to Survive".

Itu tahun 2018.

Seorang penduduk kota Yiyang, provinsi Hunan, sakit kanker darah (leukemia). Kota Yiyang berada satu jam naik mobil dari kota besar Changsha --tiga jam dari Wuhan ibukota provinsi sebelah.

BACA JUGA:Dahlan Iskan Harap Disway Group Bisa Jadi “Agama Baru”, Menpora Minta Dukung Program Olahraga dan Kepemudaan

BACA JUGA:Disway Gratis

Nama orang itu Lu Yong. Ia mengeluhkan mahalnya obat leukemia --yang non-BPJS. Berkat internet ia tahu harga obat di India jauh lebih murah. Tidak sampai 20 persennya. Maka ia minta temannya untuk secara diam-diam ke India membelikan obat kankernya.

Akhirnya teman-teman sesama penderita minta obat itu. Jadilah orang tadi "penyelundup" obat kanker. Kian banyak jumlah obat yang ia bawa dari India. Akhirnya ketahuan. Orang itu ditangkap. Dimasukkan penjara.

Saat itulah para keluarga pasien kanker berdemo. Mendatangi penjara. Mereka membawa poster agar orang itu dibebaskan. "Ia bukan penjahat. Ia penyelamat keluarga kami."

Luar biasa dampak demo itu. Pemerintah ambil tindakan cepat. Perusahaan obat --perusahaan asing di Tiongkok-- dinilai terlalu banyak mengambil keuntungan.

Pemerintah sendiri mengoreksi diri: salah satu kemahalan itu akibat pajak. Langsung saja 41 jenis obat dihapus pajaknya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan