Gelap Terang

Komisaris Utama Radio SS Ipik Suhartoyo memotong tumpeng untuk diserahkan kepada Ibu Endang Soetojo. istri pendiri SS almarhum Soetojo-Foto: Disway-Gus munir
Oleh: Dahlan Iskan
"Gunung tidak harus tinggi, yang penting ada dewanya. Sungai tidak harus dalam, yang penting ada naganya".
Saya ikut menyebar luaskan pepatah lama Tiongkok itu. Setidaknya di saat Radio Suara Surabaya berulang tahun. Kemarin. Yang ke-42.
Hidup itu tidak harus menjadi yang serba ”ter”: Terkaya, terbesar, tertinggi, terpandai, terkuasa, dan seterusnya.
Tapi jangan juga biasa-biasa saja.
Radio SS bukan yang terbesar di Indonesia. Tapi juga bukan radio yang biasa-biasa saja. Ibarat gunung, radio SS tidak setinggi Semeru atau Merapi tapi ia seperti Gunung Kawi: tidak tinggi tapi banyak dipuji dan dikunjungi.
BACA JUGA:Dorong Koperasi Korpri Infra Tegakkan Transparansi dan Akuntabilitas
BACA JUGA:Wamen ATR/BPN Ossy Dermawan Tinjau Booth di ICI 2025
Tidak ada rasa keterikatan warga terhadap media melebihi keterikatan orang Surabaya pada SS. Apalagi di saat tidak ada lagi keterikatan orang pada koran di suatu kota.
Di saat tertentu orang Surabaya bisa berjam-jam memantau SS. Termasuk saya. Misalnya dua bulan lalu. Yakni saat seorang kurir menelepon SS. Ia melaporkan sepeda motornya dicuri orang. Padahal sepeda motor itu hanya ditinggal sebentar. Hanya menyerahkan barang ke teras rumah orang. Yang menarik, di sepeda motor itu masih ada 40 barang yang masih harus diantarkan ke calon penerima.
Pendengar radio pun tidak hanya membayangkan hilangnya motor tapi juga bertanya-tanya bagaimana nasib barang kiriman itu.
SS menerima begitu banyak info tentang motor yang dicuri itu. SS juga menghubungi polisi di Surabaya dan sekitarnya. Dilakukanlah perburuan massal. Lewat udara.
BACA JUGA:Raih Top CSR Awards 2025, PLN UID S2JB Tegaskan Komitmen Lingkungan dan Sosial
BACA JUGA:PLN UID S2JB Sulap Sampah Jadi Harapan Melalui Program BOTTLE-UP