Gadis Embun

Della bersama ayahnya. -Foto: Disway-Gus munir

BACA JUGA:Fosil Archaeopteryx Terlengkap Ungkap Bukti Kuat Burung Pertama Bisa Terbang

Aku berhenti sekolah setahun.

Tapi aku tidak tinggal diam. Aku mendaftar program pertukaran pelajar ke Korea Selatan dan lolos. Rasanya seperti mimpi. Tapi tak lama, bencana alam melanda Korea dan visaku ditolak. Sponsor sudah ada, harapan sudah tinggi dan semuanya runtuh begitu saja. Aku frustrasi. Tapi aku mencoba bangkit lagi.

Aku kembali lolos program pertukaran pelajar ke tiga negara: Malaysia, Singapura, dan Thailand. Aku berangkat dengan tanggung jawab besar: menjaga nama baik para sponsor yang sudah percaya padaku. Setelah pulang ke Indonesia, aku kembali dihantui kenyataan. Teman-temanku sudah kuliah, aku masih mencari jalan.

Aku daftar berbagai beasiswa ditolak semua. Di tengah kegalauan, aku pergi ke Kampung Inggris, Pare, Kediri. Niatnya belajar TOEFL, juga ikut UTBK. Uang seadanya, tapi aku bertemu seseorang yang baik hati, yakni owner tempat kursus yang memberiku harga murah.

Di sana aku belajar 6 bulan penuh. Aku bolak-balik Pare-Surabaya naik bus hanya untuk mengurus SKCK dan berkas pendaftaran beasiswa. Aku daftar ke banyak universitas di luar negeri. Tapi lagi-lagi, semua menolakku. Hingga harapanku terakhir: UTBK. Tapi hasilnya juga tak memihakku.

BACA JUGA:Kejagung Pastikan TNI Tak Langgar Kewenangan

BACA JUGA:Menteri Nusron Tekankan Peran Strategis Alumni STPN

Aku patah. Rasanya seperti tak ada lagi pintu yang terbuka. Tapi saat itu, aku mendengar tentang program pengabdian masyarakat. Aku daftar. Di sana, di Dieng, Jateng, aku membantu warga, mengajar anak-anak tanpa bayaran. Aku mungkin tak punya gelar, tapi aku ingin tetap berguna.

Di antara para relawan itu, hanya aku yang belum kuliah. Minder? Pasti. Tapi aku percaya, Tuhan tidak membawa kita sejauh ini hanya untuk menyerah. 

Lalu, ketika aku sedang dalam perjalanan ke tempat pengabdian selanjutnya, aku dapat kabar dari grup alumni SMK. Ada program beasiswa ke Tiongkok. Aku daftar. Gratis. Dan di dalam kereta ekonomi yang berisik, aku mengikuti wawancara. Dengan kondisi seadanya. Dan malam itu juga aku dinyatakan lolos.

Aku menangis. Bahagia. Mataku berbinar. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku melihat cahaya. Untuk pertama kalinya, aku bisa bilang pada diriku sendiri: Akhirnya, jalanku dibuka juga.

BACA JUGA:Prabowo dan PM Australia Sepakat Perkuat Kerja Sama Pertahanan dan Pangan

BACA JUGA:Candi Jepara Akan Dipugar Tahun Ini

Tapi perjuangan belum selesai. Setelah dinyatakan lolos, aku harus mengikuti program persiapan keberangkatan yang berlangsung sekitar satu bulan penuh di mess Surabaya. Di sanalah, kami para penerima beasiswa dikumpulkan. Fokus utama kami waktu itu adalah belajar dasar-dasar bahasa Mandarin dan memahami budaya serta sistem pendidikan di Tiongkok.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan