Liburan Wu-Yi

Ilustrasi Liburan Wu-Yi-Photo: istimewa-Gus munir
Kasihan teman saya yang di Tiongkok: Jannet. Dia terbebani harus dapat tiket –dengan cara apa pun.
Sambil menunggu tiket cadangan itu, saya ikut Effendi Hansen ke vihara terbesar di Shanghai: Long Hua. Masih pukul 07.00. Udara akhir April sedang sejuk-sejuknya. Paru-paru serasa mengisap oksigen satu karung. Tiap satu jam Jannet memberi info: belum dapat tiket.
Hansen adalah ketua tai chi Indonesia. Ia juga duta budaya Borobudur. Masih pula jadi salah satu ketua marga Huang di Indonesia.
BACA JUGA:Bagikan Dana BLT untuk Kurangi Beban Ekonomi Masyarakat
BACA JUGA:Kenakan Kebaya Serta Baju Adat Saat Fashion Show Peringatan Hari Kartini
Hansen rajin ke Vihara. Di negara mana pun. Hari itu Hansen ajak saya sembahyang di Long Hua.
Saya sudah begitu sering ke masjid di Tiongkok. Juga pernah ke gereja di Beijing dan Fuqing. Tapi saya belum pernah ke vihara. Kalau pun pernah, itu sebagai wisatawan.
Kali ini saya ke vihara di Tiongkok sebagai pendamping jemaah yang sembahyang. Tentu saya sudah tahu bagaimana orang Buddha sembahyang. Saya sering ke vihara di Jakarta, Surabaya, Samarinda, Semarang, Palembang, dan Medan.
Di Shanghai ini, dari jauh pun pagoda vihara itu sudah terlihat. Tinggi. Indah. Kuno. Setelah dekat terlihatlah begitu banyak orang keluar masuk pintu gerbangnya.
BACA JUGA:Optimalkan Pelaksanaan 10 Program Pokok PKK
BACA JUGA:Enos Minta Kendaraan Operasional Kendaraan Dimutasi ke OKU Timur
Saking banyaknya sampai-sampai saya salah sangka.
"Apakah di dalam sana ada stasiun kereta bawah tanahnya?" tanya saya ke Hansen.
"Tidak ada," jawab Hansen. Pengusaha ekspor-impor ini lahir di Keban Jahe, Karo, Sumut. Ia tamat SMAN di Keban Jahe. Lalu kuliah akutansi di Universitas Taruma Negara Jakarta. Hansen dari suku Tiuchu. Hampir 100 persen Tionghoa di Kabanjahe dari suku Tiuchu --yang juga disebut Chaozhou.
Tidak ada stasiun kereta di dalam kompleks vihara Long Hua. Tapi banyaknya orang yang keluar masuk seperti ada stasiun di dalamnya.