Harga Karet Anjlok Usai Lebaran

a komoditas karet di wilayah OKU Timur, Sumatera Selatan Anjlok. Hal ini mulai dirasakan petani pasca-Lebaran 1446 H. -Photo: istimewa-Eris
Ia pun berharap, ada perhatian nyata dari pemerintah agar harga karet tidak terus melandai. Baginya dan petani lain, harga karet bukan sekadar angka-itu adalah napas kehidupan.
"Kami cuma minta harga stabil, jangan naik turun seperti ini. Bagi kami, harga karet itu soal hidup dan mati. Kalau jatuh, ya kami jatuh juga," ucapnya penuh harap.
Sunardi (45), petani karet asal Martapura, juga ikut merasakan getirnya penurunan harga. Ia mengaku kini sulit menutupi seluruh kebutuhan rumah tangga hanya dari hasil sadapan.
"Kalau sekarang, penghasilan dari kebun hanya cukup buat makan. Itu pun kadang pas-pasan. Biaya sekolah anak, pupuk, dan perawatan kebun belum tentu cukup," kata Sunardi.
BACA JUGA:10 Jurusan Kuliah IPS dengan Gaji Tinggi dan Peluang Karier Cerah
BACA JUGA:5 Penyakit yang Bisa Terlihat dari Kebiasaan Menguap
Jika sebelumnya harga karet sempat menyentuh Rp14.000 per kilogram, kini angkanya merosot tajam menjadi Rp11.000 hingga Rp11.500 per kilogram di tingkat petani.
Turunnya harga ini menjadi pil pahit yang harus ditelan di tengah cuaca tak menentu dan kebutuhan hidup yang terus melambung.
Slamet, petani karet asal Kecamatan Belitang, OKU Timur mengaku pendapatannya kini nyaris tak cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Dari satu hektare lahan, hasil sadapannya hanya berkisar 40—50 kilogram.
Dengan harga sekarang, ia hanya bisa membawa pulang sekitar Rp500 ribu per minggu, jauh dibanding saat harga masih tinggi.
BACA JUGA:RedMagic 10 Air Resmi Meluncur Ponsel Gaming Tipis dengan Performa Gahar dan Baterai Jumbo
"Dulu sebelum Lebaran, kalau cuaca bagus dan nyadap bisa tiap hari, penghasilan masih bisa Rp700 ribu seminggu. Sekarang? Ya segitu-gitu aja, sementara biaya hidup makin naik," ujarnya lirih, Kamis 17 April 2025.
Setiap hari Slamet harus berangkat dari rumah sejak dini hari. Kabut, dingin, hingga panas siang hari menjadi sahabat tak terelakkan demi menyadap getah di kebun.
"Kami kerja dari subuh sampai siang, kadang pulang badan pegal semua. Tapi pas jual hasilnya, cuma cukup buat makan. Anak butuh biaya sekolah, pupuk naik, racun rumput juga mahal. Kalau begini terus, bisa-bisa kami tak sanggup bertahan," keluhnya.