Pertamax Oplos

Pertamax dan Pertalite memiliki pengaruh yang berbeda meskipun sama-sama diproduksi oleh Pertamina. -Foto:Pinterest-Gus munir

Atau sebagian produksi kilang Pertamina itu juga ada yang dicampur dengan Ron 95 impor: jadi Ron 92 dan dijual sebagai Pertamax.

Pertamina baru akan punya kilang yang bisa memproduksi bensin Ron 92 sebentar lagi. Proyek kilangnya sedang diselesaikan. Di Balikpapan. Yakni kilang lama yang dipermodern. Diperbesar. Menjadi lebih besar dari Balongan. Harusnya Jokowi yang meresmikannya.

Tapi proyek ini kasihan: kena Covid-19. Tidak bisa beroperasi sesuai target: 2024.

BACA JUGA:Tanah Harus Punya Fungsi Sosial

BACA JUGA:1 Orang Hilang Terseret Arus

Mungkin baru selesai tahun depan. Kontraktornya Hyundai, Korea. Biayanya Rp 60 triliun. Itu sebelum Covid. Juga sebelum ada aturan TKDN --harus menggunakan komponen produksi dalam negeri sampai 30 persen.

Indonesia memang sudah bisa memproduksi sebagian pipa yang diperlukan proyek kilang itu. Hanya harganya lebih mahal.

Terjadilah kenaikan harga proyek. Apalagi juga ada penambahan pekerjaan. Itu normal. Proyek selalu seperti itu. Masalahnya kenaikan harga itu mencapai lebih Rp 15 triliun.

Lalu muncul persoalan baru. Sebetulnya tidak baru. Begitulah proyek besar.

BACA JUGA:Anggaran jadi Rp2 Triliun Perbulan

BACA JUGA:Begal Menggunakan Mobil Diburu Polisi

Tapi siapa yang harus bertanggung jawab atas kenaikan nilai proyek sebesar itu. Pertamina --sebagai pemilik proyek? Kontraktor --yang memenangkan tender?

Di swasta yang seperti ini mudah diselesaikan: dirundingkan.

Di BUMN itu tidak mudah. Harus minta persetujuan dewan komisaris. Dewan komisaris takut menyetujui. Takut dituduh korupsi. Masih juga harus minta persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Bukan hanya tidak mudah. Rumit. Padahal kontraktor harus menyelesaikan proyek. Kalau kontraktornya tidak kuat proyek pasti macet.

Tag
Share