JAKARTA - Beberapa waktu lalu, World Bank melalui Country Director for Indonesia and Timor-Leste, Carolyn Turk, menyatakan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan harga beras tertinggi di kawasan tersebut.
Turk juga menyoroti bahwa kondisi ini diperparah dengan pendapatan petani Indonesia yang rendah, yakni kurang dari USD 1 per hari (sekitar Rp 15.207).
"Konsumen Indonesia kami perkirakan masih membayar hingga 20 persen lebih mahal untuk makanan mereka," ungkap Carolyn pada 19 September 2024.
BACA JUGA:165 Anggota Satpol PP DKI Diduga Terlibat Judi Online
BACA JUGA:KPK Periksa Oknum PNS Dalam Kasus Pencucian Uang di Lingkungan Pemkab Meranti
Menanggapi hal ini, Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan dosen di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, mengungkapkan bahwa tingginya biaya produksi menjadi penyebab utama mahalnya harga beras di Indonesia.
Keterbatasan teknologi pertanian, infrastruktur irigasi yang belum optimal, serta mahalnya harga pupuk dan distribusi turut berperan.
"Produksi domestik yang belum mampu memenuhi permintaan menyebabkan harga internasional mempengaruhi harga beras di dalam negeri," kata Achmad pada 23 September 2024.
BACA JUGA:Banjarmasin Jadi Tuan Rumah HPN Tahun 2025
BACA JUGA:KPK Dalami Kasus Korupsi AGK Sebelum Jadi Gubernur
Selain itu, Achmad juga menyoroti tidak efisiennya sistem distribusi pangan di Indonesia. Panjangnya rantai distribusi dan spekulasi harga di pasar turut memicu kenaikan harga beras.
Untuk itu, ia menekankan perlunya percepatan modernisasi sektor pertanian dan perbaikan sistem distribusi agar lebih efisien. Peran Bulog dalam mengelola cadangan beras juga penting untuk menjaga stabilitas harga.
Dengan modernisasi pertanian dan pembenahan distribusi, Achmad berharap harga beras di Indonesia bisa lebih stabil dan terjangkau bagi masyarakat. (*/res)