Kalau di masa lalu saya harus kampanye agar petani mau tanam porang, dengan harga segitu tidak diperlukan kampanye apa pun: para petani emosi. Ramai-ramai tanam porang.
Harga benih pun melambung. Sampai Rp 150.000/kg. Tidak masuk akal. Tapi ditabrak juga. Akibatnya biaya produksi naik drastis.
BACA JUGA:Tingkatkan Kesejahteraan, Masyarakat Berterimaksih Terima Program UEP Dari Bupati Enos
BACA JUGA:Diduga Nama Baik Dicemarkan, Leher Dicengkram IRT di OKU Lapor Polisi
Yang semula saya hanya menganjurkan tanam porang di tanah tidak subur kalah oleh emosi. Tanah subur pun diubah jadi kebun porang.
Maka ketika harga porang jatuh banyak petani menjerit. Lalu diperparah oleh Covid-19: Tiongkok tidak lagi impor porang.
Saat produksi porang melimpah itulah mulai banyak yang terpikir membangun pabrik tepung porang. Tiba-tiba saja ada sembilan pabrik porang: di Ponorogo, Madiun, Nganjuk, Sidoarjo, Pasuruan. Hampir serentak.
Maka terjadilah apa yang harus terjadi: pabrik kekurangan bahan baku porang. Harga melambung.
BACA JUGA:Istana Tanggapi Soal Akun Fufufafa Diduga Milik Gibran
BACA JUGA:Masyarakat Kelas Menengah Turun Kelas
Begitulah hidup. Semua ingin cari hidup. Semua ingin hidup. Tidak ada yang mau mati. Kadang harus setengah mati dulu. Lalu hidup lagi. Atau kebablasan mati.(Dahlan Iskan)
BACA JUGA:Menteri AHY Berikan Ceramah Inspiratif di SMA Taruna Nusantara
BACA JUGA:Tilep Rp1,3 Miliar, Oktarina Permatasari Diperiksa Lagi oleh Polda Sumsel