Maka saya flash back. Rekaman debat Kamala-Pence saya cari. Apakah Kamala juga hebat di forum debat. Rekamannya mudah didapat. Ternyata di debat cawapres saat itu Kamala meyakinkan. Dia unggul jauh dari Pence.
Tapi Pence bukan Trump. Pence orang yang kalem. Bicaranya lirih. Posisi incumbent-nya membuat lebih banyak defensif.
BACA JUGA:Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Mengonsumsi Susu Oat Setiap Hari? Yuk, Simak Penjelasannya
BACA JUGA:Hindari 4 Menu Sarapan Ini agar Perut Tidak Buncit, Mulai Lakukan dari Sekarang!
Apalagi keadaan lagi berat: di tengah masa Covid. Amerika hancur-hancuran. Negara terburuk dari jumlah korban yang meninggal. Semua itu sasaran empuk untuk diserang.
Lain halnya dengan debat antar capres bulan depan. Lawan Kamala adalah Trump. Posisi Kamala incumbent.
Itu akan terjadi seperti debat antara jaksa dan terdakwa. Kamala, Anda sudah tahu, mantan jaksa agung California.
Trump, Anda lebih tahu, terdakwa di dua perkara: bisnis dan seks –dan dinyatakan terbukti bersalah.
BACA JUGA:Utopia Roadster, Mahakarya Tanpa Batas dari Sang Maestro Serat Karbon
BACA JUGA:Xiaomi Hadirkan SU7 Ultra dan Siap Mengaspal di 2025
Dengan gambaran seperti itu Kamala seperti sangat menunggu debat itu. Kamala tahu Trump sering menghujatnyi di kampanye-kampanyenya. Kamala pun hanya bisa menyindir: seorang gentleman akan memilih menyampaikan langsung kritik di depan yang dikritik.
Trump mengerti lagi disindir. Trump langsung menyatakan bersedia debat dengan Kamala. Maka debat bulan depan nanti sangat seru.
Tentu bukan hanya debat antara capres laki-laki dan capres perempuan. Antara ''jaksa'' dan ''terdakwa''. Antara konglomerat dan kelas menengah. Antara kulit hitam dan kulit putih. Serba diametral.
Trump telanjur pede agung: 'hanya' akan melawan Joe Biden yang lebih tua, gagap dengan popularitas yang lagi turun. Tiba-tiba kini harus berhadapan dengan Kamala: capres yang datang dari kulit hitam.
BACA JUGA:Seabreacher, Perahu Berteknologi Tinggi dengan Desain Mempesona yang Siap Menaklukkan Lautan
BACA JUGA:Diduga Menentang Pamerintah, Pendiri Telegram, Pavel Durov Ditahan di Prancis