Harus diterima apa adanya: presiden punya hak prerogatif. Pun di masa injury time. Periodisasi kepresidenan tidak mengenal istilah injury time.
Apakah semua yang terjadi itu kejam? Tidak.
Apakah semua yang terjadi itu bisa dibenarkan? Bisa.
Apakah semua yang terjadi itu legal? Sangat legal.
Apakah ada peristiwa politik yang lebih dahsyat dari yang sekarang ini? Ada.
BACA JUGA:Lanosin resmikan Pembangunan Jalan Hingga Masjid
BACA JUGA:Tiga Tahun Memimpin OKU Timur, Enos-Yudha Sukses Persembahkan Pelbagai Prestasi dan Penghargaan
Jadi untuk apa terus-menerus geleng-geleng kepala.
Anda masih ingat jargon "Akselerasi Pembangunan 25 tahun"?
Itu adalah ''buku induk'' untuk mengawali Orde Baru. Itu adalah tahapan pembangunan jangka panjang yang terencana. Agar negara bisa tinggal landas menuju kemajuan.
Setelah ''akselerasi'' itu ada Trilogi Pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, pemerataan. Keamanan harus stabil. Politik harus stabil. Pertentangan politik kanan-kiri harus dibasmi. Partai-partai kanan disatukan dalam PPP. Partai-partai sekuler dilebur dalam PDI. Diciptakanlah partai tengah yang dominan yang tidak disebut partai: Golkar.
Penentangan luar biasa. Tapi yang menentang ditendang. Komando Jihad diciptakan sebagai jebakan untuk memberangus ekstremis dalam Islam.
BACA JUGA:Supratman Bakal Lapor Jokowi Soal Putusan MK Tentang Pilkada
BACA JUGA:Viral di sosial media suami diduga aniaya istrinya sendiri
Partai nasionalis, Partai Kristen dan Katolik disatukan dengan konsensus: ketua umumnya harus Banteng, sekjennya harus dari partai Kristen.
Kata ''konsensus'' menjadi mantra saat itu –mirip mantra demokrasi saat ini. Mantra ''konsensus'' dipuja sebagai tandingan atas konsep demokrasi –yang distigmakan secara negatif dengan istilah demokrasi liberal.