Diketahui, terdapat tiga metode yang dijelaskan oleh Soegianto untuk mendefinisikan data yang dianggap valid, yaitu pertama, menghitung semua data Sirekap dengan dianggap valid, kecuali yang jumlah pemilihnya di atas DPT yang sebanyak 300 orang.
"Berdasarkan metode pertama, jumlah yang memilih Pilpres itu 124 juta dari 795.000 TPS," kata Soegianto.
Kedua, menganalisa semua data Sirekap berdasarkan suara nil dan yang di atas 300 pemilih dan ternyata banyak TPS yang hasilnya nil.
Ketiga, menganalisa data suara berdasarkan gambar formulir C1 yang diupload.
BACA JUGA:Kasat Reskrim Polrestabes Banyuasin Dilaporkan Terjerat Kontroversi
BACA JUGA:Anggota DPRD Muara Enim ini Siap Maju Pilkada 2024
"Setelah menggabungkan metode kedua dan ketiga, saya menemukan bahwa suara tidak sah itu ada 49 juta di seluruh Indonesia," ungkap Soegianto.
Bahkan, setelah dikolaborasi antara yang mencoblos partai dan paslon atau untuk pileg dan pilpres, semua data bergeser di mana terjadi penambahan suara untuk paslon 2 sebesar 20 persen, sedangkan untuk paslon 1 berkurang dan paslon 3, sebesar 15 persen.
"Akhirnya saya mencoba untuk menghitung kalau begitu kelompok orang yang memilih di pilpres dan orang yang memilih di pileg dikelompokkan, maka muncul angka untuk paslon 2 itu 48 persen," tutur Soegianto.
Dia menuturkan, data Sirekap yang menunjukkan paslon 2 mendapat 58 persen suara kemungkinan disebabkan penambahan dari suara tidak sah atau nil.
Dengan demikian, tak ada paslon yang memenangkan Pilpres dengan suara mayoritas, sehingga Pilpres bisa berlanjut ke putaran kedua.
BACA JUGA:Alvin Hotman
BACA JUGA:Pegadaian KUR Syariah Cabang Baturaja Dibuka, Tanpa Barang Jaminan