Para direksi ASDP tidak bermimpi tentang transformasi kosong. Mereka sudah bisa berhitung: mengakuisisi PT Jembatan Nusantara berarti mendapat 53 kapal yang sudah beroperasi, sudah menghasilkan revenue, sudah punya izin trayek yang sulit didapat.
Bandingkan jika mereka membeli 53 kapal kosong—butuh berapa tahun untuk mengurus izin? Berapa besar biaya opportunity cost selama kapal nganggur? Berapa risiko izin tidak keluar?
BACA JUGA:260 Disway
BACA JUGA:Disway Network dan B Universe Jalin Kemitraan
Nilai akuisisi Rp1,2 triliun memang angka yang fantastis, tapi mari kita hitung dengan logika bisnis, bukan logika kriminal. Dalam industri pelayaran, akuisisi perusahaan berikut izin operasinya memang selalu lebih mahal daripada membeli kapal kosong. Mengapa? Karena yang dibeli bukan hanya aset fisik, tapi juga:
- Izin trayek yang sudah proven profitable
- Customer base yang sudah established
- Revenue stream yang sudah berjalan
- Track record operasional yang sudah teruji
Ini seperti membeli franchise McDonald's versus buka burger stall sendiri. Yang pertama mahal, tapi sudah ada brand, system, dan customer. Yang kedua murah, tapi belum tentu laku dan butuh effort dari nol.
Ketika IMO GISIS dijadikan standar tunggal untuk menentukan usia kapal dalam valuasi, apakah ini fair?
Standar internasional memang penting, tapi konteks bisnis lokal juga tidak bisa diabaikan.
Kapal yang beroperasi di perairan Indonesia dengan regulasi Indonesia, melayani rute Indonesia, tentu punya karakteristik valuasi yang berbeda dengan kapal yang beroperasi di Mediterania atau Baltic Sea.
BACA JUGA:Disway Gratis
Bisnis di Negeri Seribu Prasangka