Pertanyaannya kini: sanggupkah kita menciptakan sistem yang membedakan antara korupsi sesungguhnya dengan strategic business risk-taking?
Bisakah kita memahami bahwa membayar premium untuk aset yang sudah produktif adalah hal wajar dalam dunia bisnis, bukan otomatis mark-up koruptif?
Ataukah kita akan terus menjadi negara yang takut pada bayang-bayang sendiri, di mana setiap upaya BUMN untuk bersaing secara serius berakhir di meja hijau?
Sebagaimana ungkapan Minang, "babuah babungo, indak babuah layu?" —berbuah berbunga, tidak berbuah layu.
Kasus ASDP memaksa kita bertanya: apakah upaya BUMN untuk sustainable growth sambil menjalankan misi sosial akan berbuah kemajuan, ataukah layu sebelum sempat mekar karena setiap inovasi bisnis dianggap suspicious?
BACA JUGA:260 Disway
BACA JUGA:Disway Network dan B Universe Jalin Kemitraan
Jawabannya bukan hanya menentukan masa depan ASDP, tapi juga masa depan seluruh ekosistem BUMN Indonesia di era di mana standing still sama dengan slow death.
Susahnya hidup di negeri tempat Si Kabayan membangun istana malah dituduh merampok, sementara perampok yang berdandan Sinterklaas malah bebas berkeliaran.
**
Siapa GWS? Saya yakin suatu saat akan tahu siapa ia. Atau jangan-jangan ia salah satu perusuh Disway.
Di tengah berita tenggelamnya fery swasta di Selat Bali ternyata ada juga yang karam di daratan seperti Ira.(Dahlan Iskan)