Berdasarkan pantauan di lapangan, ratusan pedagang telah mulai menandai lapak mereka secara mandiri di lokasi baru, menggunakan berbagai metode seperti tali, cat semprot (pylox), hingga potongan kayu.
BACA JUGA:Tak Larang Live, tapi Tertibkan Parkir
BACA JUGA:Percepatan Pembangunan Jembatan Konektivitas
Namun, proses ini menimbulkan keresahan. Banyak pedagang mengeluhkan tidak mendapat lahan karena tidak ada mekanisme resmi pembagian lapak seperti pengundian atau penataan dari pemerintah.
Iskandar, penjual tahu dan tempe yang biasa berjualan di dekat Grande, mengaku hanya mengikuti langkah pedagang lain karena merasa terburu-buru mencari tempat setelah mendengar kabar relokasi.
“Katanya harus pindah Jumat, jadi kami cari tempat secepatnya,” katanya.
Keluhan serupa datang dari Evi Lawati, penjual daun sop dan daun bawang. Ia mengaku kecewa karena setelah berjualan selama 18 tahun di pasar subuh, ia justru tidak mendapatkan tempat di lokasi baru.
BACA JUGA:DPRD Sumsel Sampaikan Rekomendasi Strategis atas LKPJ Gubernur 2024 di Rapat Paripurna XI
BACA JUGA:Terduga Kurir Sabu Diciduk di Pinggir Jalan
“Katanya ada pembagian lapak, tapi kenyataannya siapa cepat dia dapat. Kami kalah cepat,” keluhnya.
Muhtar Edi menegaskan bahwa penempatan pedagang akan didasarkan pada data resmi milik Dinas Perdagangan. Saat ini tercatat ada 749 pedagang yang terdaftar.
“Mereka yang tidak terdata tidak diperbolehkan menempati lapak. Kami sudah memperhitungkan, dengan ukuran 2x1,5 meter per lapak, seluruh pedagang akan tertampung,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa ukuran lapak harus seragam dan tidak boleh melebihi standar yang ditentukan agar tersedia cukup ruang untuk parkir dan sirkulasi.
BACA JUGA:HUT ke-74 Persaja, Kejari OKU Tekankan Pegawai Hidup Sederhana
BACA JUGA:Umuk Ijazah
Meskipun begitu, pemerintah berkomitmen untuk meninjau dan mengevaluasi berbagai keluhan pedagang agar proses relokasi dapat berjalan tertib, adil, dan tetap mengakomodasi kepentingan bersama. (*)