Pagar Laut

Kamis 23 Jan 2025 - 20:43 WIB
Reporter : Gus Munir
Editor : Eris Munandar

Orang tua Khozi asli Magelang. Miskin sekali. Dari desa di Kecamatan Salaman. Orang tuanya ikut transmigrasi ke Lampung. Ke Way Jepara. Di Lampung Timur.

Khozi lahir di sana. Sekolah di sana. Sampai tamat SMK di sana. Lalu Khozi kuliah hukum di Universitas Muhammadiyah Magelang.

"Saya dari keluarga NU, pernah aktif di IPNU, sekolah di Muhammadiyah, ikut IMM, lalu jadi aktivis HMI," katanya. Berarti Khozi aktivis lintas pagar.

"Waktu di Lampung kami ini diejek orang Lampung. Lihat tuh orang Jawa, pergi ke Lampung bawa cangkul. Kami, orang Lampung, pergi ke Jawa bawa buku," ujar Khozi terkekeh.

BACA JUGA:Bangkai Lumba-lumba Ditemukan di Pagar Laut Bekasi

BACA JUGA:Asri Welas- Galiech Ridha Rahardja Resmi Bercerai

Ia pun jadi orang Lampung. Pergi ke Jawa untuk sekolah. Setamat kuliah di Magelang ia ke Jakarta, gabung dengan kantor pengacara lain sebelum akhirnya mandiri.

Awalnya Khozi tidak kenal Said Didu, penggerak rakyat untuk menggugat PSN PIK2. Didu adalah aktivis lama. 

Sejak masih di Makassar. Juga ketika jadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Juga ketika gabung di HMI.

Pertautan Khozi dengan Didu terjadi saat Didu dilaporkan ke polisi untuk kali kedua. Para aktivis berkumpul mendukung Didu. Di situlah Khozi kenal mantan sekretaris kementerian BUMN itu.

BACA JUGA:Dirikan Rumah Produksi, Iko Uwais Tegaskan Tak Akan Pensiun Jadi Aktor

BACA JUGA:Kalahkan Lin Chun-Yi , Joo Melaju ke Perempat Final

Gerakan aktivis pun bergeser lebih taktis. Lewat gugatan hukum, tanpa melibatkan petani dan nelayan dulu.

"Semua ini hulunya kan di UU Omnibus Law Cipta Kerja," kata Khozi.

Waktu pembangunan bandara Cengkareng (sekitar 1.000 hektare) tidak ada masalah. Ganti ruginya baik dan lancar. Pun ketika dibangun PLTU besar di Teluk Naga.

"Saat itu saja, ganti ruginya sudah Rp 300.000/meter," ujarnya.

Kategori :