Saya justru tertarik dengan latar belakang pemilik rumah ini: ia kini pemilik pabrik tepung ikan terbesar di Indonesia. Segala macam ikan tidak laku ia tampung. Pun ikan yang sudah membusuk. Digiling sekalian dengan tulangnya. Untuk makanan ternak, pupuk, dan makanan ikan.
Namanya: Teguh Wijaya. Umur 67 tahun.
Ia tidak tamat sekolah apa pun. Pun tidak tamat SD. Sekolahnya hanya sampai kelas tiga di Desa Mojosari, tempatnya lahir.
BACA JUGA:Usulkan 1 Desa 1 Sarjana
BACA JUGA:Kirim ODGJ ke Rs Erba
Ia merasa cukup sudah bisa membaca dan menulis –biar pun tidak lancar. Satu-satunya buku yang pernah ia baca adalah buku ''Ini Budi''.
Teguh harus cari uang. Kakak-kakaknya tetap sekolah. Adik-adiknya masih kecil. Ayahnya, pedagang kacang rebus di Mojosari, Mojokerto.
Bedanya, kacang rebus itu dikeringkan. Di mana ada pertunjukan wayang kulit pedagang ambil kacang dari sang ayah.
Keluarga kacang rebus ini menyewa rumah di belakang kelenteng Mojosari. Ayahnya ingin cepat punya modal memperbesar usaha.
BACA JUGA:Cegah Virus HIV Nyebar ke Anak
BACA JUGA:Oknum Kepsek Diduga Manipulasi Data Dana BOS
Sang ayah menggadaikan semua perabot rumah. Uangnya untuk beli kupon nalo. Ia beli kupon nomor tunggal: 10. Tidak diecer ke nomor-nomor lain. Ia mantap dengan nomor itu.
Nalo yang keluar: nomor tiga.
Semua jaminan disita. Ludes. Tidak punya apa-apa lagi. Pun meja kursi. Lemari. Satu-satunya yang tidak disita: kasur yang sudah tidak bisa diangkat karena akan robek semua.
Keluarga Teguh jatuh miskin semiskin-miskinnya.
"Sebenarnya ibu saya lebih bisa dagang. Tapi ayah saya keras. Mama harus hanya di rumah untuk jaga anak-anak," ujar Teguh. "Mama adalah ibu yang tunduk pada suami," tambahnya.