Maka di bulan September itu rapat-rapat-jarak-jauh yang mestinya membahas apa saja yang harus disiapkan untuk Camino menjadi semacam konsultasi bagaimana cara menangani penyakit James.
Lia ingin membawa pulang James ke Indonesia. James merasa lebih nyaman kalau penanganan kankernya dilakukan oleh dokter Asia yang memahami pengobatan timur.
BACA JUGA:Mobil Irenne Ghea Dirusak Penonton di Acara CB
BACA JUGA:Kalah dari Vietnam, Shin Tae Yong Beri Apresiasi Semangat Juang Pemainnya
Saya keberatan dengan ide itu. "Anda beruntung terkena kanker di Amerika. Rumah sakit terbaik ada di sini. Obat terbaru ada di sini. Dokter paling hebat ada di sini," kata saya.
Apalagi sebagai pemegang kartu permanent residence, James-Lia berhak atas fasilitas kesehatan Amerika. Belum lagi asuransi kesehatan suami-istri itu ampuh untuk pengobatan apa pun di sana.
Lia berhari-hari menangis. Pun di saat telepon saya di tengah malam. Saya harus bijaksana berbicara dengan wanita yang lagi dalam duka yang dalam.
"Saya...em... belum siap kehilangan James," ujar Lia sesenggukan. Tidak hanya satu-dua kali. "Saya sangat sayang James," katanyi berkali-kali.
BACA JUGA:Jadwal Padat, Pemain Kelelahan
BACA JUGA:Medsos Berdampak Pengaruh Kekerasan Terhadap Anak
Sehari bisa tiga-empat kali Lia menelepon saya. Dari New York. Sebagai orang yang pernah sakit kanker saya tahu kejiwaan seperti apa yang dialami James dan Lia. Saya harus lebih dulu menata suasana kebatinan itu dulu.
Sikap pertama orang yang divonis kanker, Anda sudah tahu: menolak kenyataan itu. Kadang menyalahkan keadaan. Bahkan sampai menyalahkan Tuhan.
Lama-lama orang itu bisa menerima kenyataan. Kadang sudah terlambat.
Kian cepat seseorang bisa menerima kenyataan kian cepat pula bisa berpikir jernih: memikirkan apa yang harus dilakukan.
BACA JUGA:Menteri ATR/BPN Sertipikat Tanah Bernilai Ekonomi Tinggi 5-10 Tahun ke Depan
BACA JUGA:Ini Pesan Prabowo Kepada Ketua KPK yang Baru Dilantik