Pikul Lumpia
Dahlan Iskan ketika menghadiri evet arak-arakan Dewa Cheng Ho di Semarang.-Foto: Disway-Gus munir
Justru kaki saya sering menjadi rem. Agar tidak menabrak barisan di depan kami: barisan tabuh-tabuhan.
Kereta yang saya tarik itu bermuatan abu hio dari Kelenteng Besar Tay Kak Sie. Abu hio yang saya bakar malam sebelumnya tentu tidak termasuk dalam bejana yang saya tarik.
Malam sebelumnya saya memang ikut mbakar tiga hio besar dua kali. Yakni, saat ikut sembahyang berjamaah.
BACA JUGA:Sita objek Lahan PN Kayuagung Berlangsung Ricuh
BACA JUGA:Jaga Harga dan Kualitas Pemkab Lahat Rancang BUMD Perkebunan
Yang pertama di depan dewa yang di halaman. Yang kedua di depan altar dalam Kelenteng Tay Kak Sie.
Baru sekali ini saya melihat ada sembahyang di kelenteng secara berjamaah. Yang biasa saya lihat dilakukan sendiri-sendiri –sesuai permintaan masing-masing.
Sembahyang berjamaah itu tidak pakai imam. Ketua kelenteng berdiri di tengah. Di barisan depan. Saya diminta juga di saf depan. Saya lirik kanan kiri agar tidak ada gerakan yang salah.
"Imam" di sembahyang itu adalah penata ibadah. Semacam MC. Gerakan sembahyangnya mengikuti komando MC dari pengeras suara –dalam bahasa Tionghoa.
BACA JUGA:5 Tanaman Dapur yang Membuat Ruangan Segar dan Hijau
BACA JUGA:7 Tanda Akun WhatsApp Kamu Diretas dan Cara Mengatasinya
Sembahyang diawali dengan pembagian hio. Ukuran sebesar pensil. Bukan yang seukuran lidi. Masing-masing tiga hio.
Ini bukan kali pertama saya pegang hio. Ujungnya sudah membara. Saya pun menerimanya dengan cara biasa: memegang bagian bawahnya. Ups... Aduh! Panas!
Hampir saja hio terlepas. Ternyata hio itu dibakar di dua sisinya. Jari saya memegang api itu!
Saya tahan rasa sakit. Saya jaga wajah untuk tetap tersenyum. Baru sekali ini saya tahu ada hio dibakar dua ujungnya.