Perangko Lelap

Dahlan Iskan-Photo ist-Gus munir

BACA JUGA:Lakukan Razia, Amankan Minuman Keras

BACA JUGA:MUI Minta Masayarakat Saling Menghormati Perbedaan Puasa

Selesai makan, si Yaman bicara dengan awak bus yang lagi makan di lesehan sebelah. Ia memberi tahu awak bus bahwa saya mau umrah.

Saya paham: agar bus berhenti di tempat miqat. Yakni tempat di mana orang yang akan umrah harus ganti ke pakaian ihram. Tanpa pakaian ihram umrahnya tidak sah.

Saya memang sudah bawa pakaian ihram: dua lembar kain putih. 120 x 240 cm. Satu untuk bagian bawah badan. Satunya lagi untuk bagian atas. Tidak boleh ada pakaian dalam.

Ada aturan: bus umum harus berhenti di miqot kalau salah satu penumpangnya ada yang mau umrah.

Saya tadi belum sempat memberi tahu awak bus. Juga karena saya punya rencana tersendiri.

Resto itu sudah begitu dekat dengan cagar. Di dalam bus mata saya pindah-pindah: ke layar hp dan ke layar ufuk. Saya bayangkan cagar itu nanti akan sangat menakjubkan: binatang-binatang liar, buas, aneh, langka. Atau ribuan burung yang lagi beterbangan. Mungkin juga banyak tanaman langka di situ.

BACA JUGA:PBNU Desak agar Israel membuka akses ke Masjid Al-Aqsa

BACA JUGA:Speedboat Terbalik, 2 Penumpang Meninggal

Layar HP pun menunjukkan posisi: bus sudah berada di dalam wilayah cagar alam. Saya menatap ke luar: sama saja. Padang pasir juga. Yang itu juga. Tidak ada bedanya dengan ke mana pun mata memandang.

Pun satu jam kemudian. Dua jam berikutnya. Cagar dan bukan cagar tidak bisa dibedakan.

Setidaknya saya sudah punya pengalaman memasuki cagar terbesar di Timur Tengah.

Dan bus ini akan berhenti di Taif –kota pegunungan 1,5 jam sebelum Makkah. Inilah harapan baru. Setelah harapan lama lewat dengan hampa. Taif. Begitu terkenal namanya. Kota wisata. "Seperti Batu di Malang," kata banyak orang yang belum pernah ke Batu.

Taif di depan mata. Hampa lagi.

Tag
Share