Critical Parah
Ilustrasi perjalanan Dahlan Iskan dari Hartford ke Chicago. -Foto: Disway-Gus munir
"Benar".
"Apanya yang salah?"
"Anda di penerbangan yang jam 6 sore," jawabnyi.
BACA JUGA:Wamen Ossy Tekankan Soal Pengelolaan Pertanahan yang Adil
BACA JUGA:Dapat Anggaran Rp33 T
Ups... Kurang teliti. Saya amati boarding pass itu. Benar. Jam 6 sore. Mungkin petugas check in di depan tadi ingin menjelaskan itu tapi saya keburu membawa lari boarding pass yang dia berikan.
Ya sudah.
Yang penting malam itu akan sampai di Chicago. Berarti petugas check in di depan tadi sangat baik. Tanpa bertanya apa pun langsung mencarikan penerbangan berikutnya. Satu-satunya yang masih ada. Tanpa bayar apa-apa. Tidak ada permintaan agar saya beli tiket yang baru.
Ini masih jam 12 siang. Berarti saya harus enam jam menunggu. Ya sudah. Kan bisa diisi dengan menulis untuk Disway.
Saya pun cari tempat duduk. Sebenarnya tidak mencari. Semua kursi di ruang tunggu itu kosong. Tiba-tiba saya ingat sesuatu: lapar.
BACA JUGA:Jalan Palembang-Betung Memprihatinkan
BACA JUGA:Percepat Legalitas 7.721 Sumur Minyak Tradisional
Saya juga ingat: masih ada singkong rebus di tas kresek saya. Di bawah buku tebal berjudul American People pemberian Daeng Saleh Mude.
Singkong itu saya rebus waktu di New York. Di rumah James Sundah. Lia, istrinya, tahu: saya harus makan singkong tiap hari. Dia bisa beli singkong yang belum dikupas di New York.
Saya kupas singkong itu. Saya potong-potong. Saya rebus. Agak banyak. Untuk tiga hari. Sebagian saya bawa. Separonya untuk dimakan di New Haven. Separonya lagi saya panasi di New Haven. Untuk dimakan di Hartford.