Kawin Thinking
Pelajaran critical thinking dimulai saat guru sudah waktunya bertanya: mengapa begitu. Juga mengapa seperti itu. ''Mengapa'' adalah kuncinya.-Photo: istimewa-Gus munir
Chris dan John Mohn duduk di seberang meja. Minum kopi. Hanya kopi. Chris yang bikin kopi di mesin kopi. Kopi Gayo, Aceh.
John minum kopi sambil lihat handphone. Serius. Tiba-tiba ia berdiri. Mendekat ke saya: ia menunjukkan salah satu komentar perusuh di Disway bertopik Tawaduk Thinking. Ada tulisan Arab di komentar itu.
"Apakah banyak orang Indonesia yang punya pendapat seperti ini?" tanya John.
Rupanya John tidak hanya suka membaca Disway tapi juga suka melihat sampai ke komentar perusuh. Tentu sudah yang dalam bahasa Inggris.
BACA JUGA:Insfrastruktur Bertahap Diperbaiki
BACA JUGA:Terdektesi 11 Hotspot Turunkan Waterbombing
Dari situlah awalnya, pagi itu kami diskusi soal critical thinking. Terutama bagaimana mengajarkan critical thinking di sekolah-sekolah Amerika.
Chris lantas memberi contoh bagaimana soal siapa antagonis dan siapa protagonis sudah dibahas di tingkat SMP.
Pelajaran pertama critical thinking dimulai di SD kelas 3. Bentuknya: memahami kalimat. Satu kalimat.
Di kelas berikutnya: memahami maksud di tulisan dua kalimat yang digabung. Di kelas 4 memahami makna yang tertulis dalam satu paragraf.
BACA JUGA:Resep Cireng Kenyal dan Gurih, Camilan Sederhana yang Bikin Ketagihan
BACA JUGA:Resep Risol Mayo, Lezat dan Renyah Bisa Dicoba di Rumah
Di SMP dimulailah berpikir dengan pertanyaan ''mengapa''. Sedang di SMA sudah masuk ke berargumen dan adu argumen.
John tidak akan lupa seumur hidupnya saat pelajaran itu dia alami di akhir SMA. Bahkan debat itu sampai mengubah jalan pikirannya. Sampai sekarang.
Waktu itu guru membagi kelas dalam dua kubu: apakah seharusnya terjadi perkawinan antar ras. Atau tidak. John kala itu berada di kubu ''bisa dilakukan''.