Mazu dipuja sebagai sosok yang penuh kasih dan penyelamat bagi mereka yang menghadapi bahaya di laut.
Menurut legenda, Mazu adalah seorang wanita bernama Lin Mo atau Lin Moniang yang hidup pada abad ke-10 di Fujian, Tiongkok.
Sejak kecil, Lin Moniang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti dapat melihat kejadian di laut dari jarak jauh dan menyelamatkan para pelaut dari badai melalui kekuatannyi.
Setelah meninggal muda pada usia 28 tahun, Lin Moniang dianggap sebagai makhluk ilahi oleh masyarakat setempat karena keajaiban-keajaiban yang dihubungkan dengan dirinyi.
BACA JUGA:Segera Hadir! iQOO 13, Smartphone Dengan Spesifikasi Menggoda di India
BACA JUGA:Manfaat Toge untuk Kulit yang Bisa Bikin ebih Bersih
Dia kemudian diangkat sebagai dewi dan dikenal sebagai Mazu, yang berarti "Ibu Leluhur."
Kuil-kuil yang didedikasikan untuk Mazu, seperti kuil "Fengshan Gong" (�P山�m), banyak ditemukan di wilayah pesisir Tiongkok, Taiwan, dan komunitas diaspora Tionghoa di seluruh dunia.
Mazu juga memiliki perayaan tahunan yang besar, terutama di Taiwan, di mana festival untuk menghormati Mazu melibatkan prosesi, doa, dan persembahan.
Sungguh banyak pun orang Tionghoa baru tahu cerita itu dari pengasuh pesantren ini. Apalagi saya.
BACA JUGA:Dorong Digitalisasi Pemerintah, Integrasi 27 Ribu Aplikasi, Tuntas Atasi Korupsi
Sejak Ahmadie berhenti sebagai pimpinan di harian Republika saya kehilangan kontak dengannya. Rupanya ia terus jadi aktivis.
Selain mengasuh pesantren Ahmadie juga aktif di Komisi PPP (penelitian) di MUI. Juga jadi pengurus di beberapa ormas seperti PUI atau PIM (Pergerakan Indonesia Maju).
"Saya sedih, sebagian kawan di Komisi PPP MUI sampai menyebut Anda murtad," tulisnya.
Saya tidak sedih. Baik juga sesekali medsos memperdebatkan masalah hubungan kemanusiaan yang mendasar.