Halaman pertama presentasi Hermawan berisi lima baris panjang. Kalimat itu tidak bisa dibaca. Tidak ada hurufnya. Terbentuk dari angka semua. Tanpa jarak spasi.
Untuk bisa ”membaca” kalimat itu diperlukan waktu 200.000 tahun. Dulu. Kini, dengan quantum komputing hanya perlu waktu empat menit.
BACA JUGA:Cari Solusi Jangka Pendek untuk Tekan Kemiskinan
BACA JUGA:SFC Menang Besar 5-1 Atas Persikabo
Kuncinya di riset.
Kualitas riset.
Iklim riset.
Iklim itu harus diciptakan. Salah satunya lewat networking seperti yang ia lakukan.
"Indonesia itu serba kaya," ujar Prof Hermawan. "Salah satunya: kaya masalah," selorohnya. Dengan kekayaan masalah itu, mestinya, riset menjadi sangat subur.
Hermawan lantas menampilkan data perbandingan riset dari banyak negara. Anda pun sudah menduga: angka Indonesia serba rendah. Atau terendah. Termasuk angka gaji dosennya. Yang di UM-pun sudah Rp 105 juta/bulan.
Banyak peserta menengok kagum ke meja UM Malang --dulunya IKIP Malang. Dikira gaji dosen di UM setinggi itu. Ternyata UM yang dimaksud di tabel itu salah satu universitas di Malaysia.
BACA JUGA:ATR/BPN Fokus Tingkatkan Kualitas Pengelolaan Pengaduan
BACA JUGA:Tengku Dewi Ingin Umrah Untuk Tenangkan Diri
UM sudah masuk ranking sedikit di atas 100 dalam peringkat H-indeks dunia. Anggarannya Rp 4 triliun setahun. Publikasi Scopusnya 75.000. Lebih sedikit. Jumlah dosennya 2.500 --24 persennya dosen asing. Jumlah mahasiswa 17.000.
Gaji dan anggaran memang salah satu jalan menuju WCU. Tapi Prof Hermawan menganggap itu satu dari ”kekayaan” masalah kita. Tidak boleh menyerah. Merdeka saja bisa pakai bambu runcing. Masuk ke WCU tentu juga bisa pakai bambu yang sedikit lebih tumpul.
Untuk itu Hermawan memuji seorang dosen wanita di Semarang. Kami semua terpana. Nama itu begitu asing di telinga umumnya akademisi Indonesia. Tapi dia itulah yang memegang nilai tertinggi H-indeks di seluruh Indonesia.